Thursday, 28 May 2015

Drowning

Immense darkness

So it's about a man. A man whom other people won't consider lonely since he seems like having so many photograph smiling with many peers on his account. But sometimes we just cannot judge people just by looking at it.

It still about a man. A man who being attacked by lonesome feeling on his way back to home on the train. He is surrounded by so many people, strangers exactly. Strangers that chatting all along and some who still looking at their cellphone all the time. 

And it is still about a man. A man who sometimes afraid of declare and convince that he has already found a new best friend, a mate. A fear that he feels because he is afraid that life will take it again like some of his previous one. Like one best friend on his junior high that got to leave for another city, like one on his senior high that his mother prohibited because she was afraid that his son was going to be a bad boy although he was still be such a kind and obedient one, or like one on his college that just simply gone away because his friend was just too busy with his love life, or else and else. 

He is aware that he has a loving parents and a loving girlfriend, but sometimes it is much more beyond that.  He was raised an only child and broken, and friends were used to be their brothers and sisters. He was such an awkward human being with intense introversion that not every single one could open up to him and vice versa. Sometimes when he was losing a friend not because of his own fault, he was thinking maybe it's God's way although he is still wondering why. 

He is still afraid of losing. He is still wondering Why God about this and that. On his dark bedroom with a ray of city's night building out there, he is lying on his bed and thinking. Time by time, his immense loneliness take over his whole feeling. He tries to warm up his body by blanket, but the cold still covers him.

Finally, it is still about a man. A man who is drowning. And he is drowning and drowning and drowning on his own ocean of loneliness. And he does not know anything about smoke, beers, drugs, or clubs. And so he is trying to sleep. Because it is his only place where he could stay.

Wednesday, 27 May 2015

Yog (2)



Jadi urusan kedua saya ke Yogyakarta minggu lalu terkait dengan program sosial beasiswa saya. Jadi, program beasiswa saya membuat sumur bor di Desa Pengkok, Gunung Kidul, Yogyakarta, dimana sebelumnya desa tersebut memiliki masalah kekurangan air. Alhamdulilah banget sumur bornya berhasil mengeluarkan air cukup deras gitu. Semoga aja sampai kapan juga bisa digunakan dan penuh manfaat gitu. 
 
Jadi kami berangkat dari kota Yogyakarta sekitar pukul dua siang dan sampai di Gunung Kidul pada pukul empat sore. Sesampainya disana, akhirnya saya ketemu teman-teman sekelompok saya! Bahagia banget rasanya ketemu mereka lagi. Terus kami langsung ngobrol sambil antre beli es the gitu. Foto-foto sebentar lalu ngobrol-ngobrol lagi.

Nah, setelahnya sih acara resmi gitu. Kita bantu-bantu menyiapkan ini dan itu. Angkat ini dan itu. Lalu duduk manis mendengarkan acara peresmian dan syukurannya itu. Bapak yang mewakili desa setempat bilang sumur bor ini semoga menjadi amal jariyah karena selama airnya masih mengalir, berarti amalannya ya ikut mengalir. Lalu sambil menunggu acara syukuran pada malam harinya, kami semua makan nasi tumpeng yang sudah disiapkan. Saat itu gak ada piring, jadi banyak yang merobek daun pisang untuk alas makannya. Lucu.

Malamnya, kami di masjid desa setempat mendengarkan ceramah. Ceramahnya tentang meraih mimpi gitu. Gak peduli kamu dari desa, atau bapak ibumu dari desa, kamu tetap bisa meraih cita-cita kamu karena sekarang banyak fasiitas tersedia. Begitu katanya. 

Setelahnya sekitar pukul sebelas, kami menaiki bus lalu berangkat ke Pantai Kukup. Saya duduk sama Alfian, lalu di depan saya ada Anindito dan Wahyu. Di bus malam itu, semua orang tertidur. Sisa saya aja kayanya yang terjaga sambil melihat kegelapan kanan kiri. Perjalanan sebelum sampai ke Pantai Kukup itu sekitar satu setengah hingga dua jam.

Setelah perjalanan penuh kegelapan itu, akhirnya kami tiba di Pantai Kukup. Saat saya dan teman-teman dekat saya mencari-cari lokasi untuk bisa merebahkan diri, kami gak menemukan lokasi yang pas. Jadinya, kami semua keluar lapangan gitu dimana terdapat kayu yang sudah disusun untuk api unggun. Setelahnya kami menyalakan api unggun tersebut sambil duduk-duduk diatas backdrop besar yang dijadikan alas. 

Lama kelamaan setelah api unggun meredup mati. Kami semua mengobrol sambil merebahkan diri. Malam itu rasanya jadi salah satu malam paling indah buat saya. Untuk pertama kalinya, saya tidur dibawah langit penuh bintang-bintang yang terang sekali berpijaran, suatu hal yang tidak pernah bisa didapatkan di Jakarta. Sambil melihat bintang-bintang itu, kita mengobrol banyak. Mulai dari saling ledek-ledekan, berbicara tentang pengalaman dan kenangan lama, bahkan sampai bicara serius mengenai pemanasan global. Saya dan teman-teman dekat mengobrol berjam-jam sambil tetap merebahkan diri melihat bintang-bintang di langit. Sesekali kami mendengar teman-teman lain yang asik bermain kartu werewolves sambil tertawa penuh seru. Saya, Anindito, Alfian, Jeffy, Sylvia, Yunny, Ichsan, Wahyu, dan Salam, masih terus menatap bintang sambil dengan sok pandai menerka ini rasi itu dan itu rasi ini walau tidak ada satu pun dari kami yang sekolah di bidang astronomi. 

Sambil masih sibuk mengobrol, tiba-tiba Saya melihat bintang jatuh. Ini pertama kalinya bagi saya melihat bintang jatuh. Ichsan dan Wahyu juga ikut melihatnya. Begitu rupanya yang namanya bintang jatuh. Sebelumnya saya hanya menerka-nerka bentuknya dalam komik dorameon saja.

Setelah jam-jam penuh tawa itu, akhirnya satu per satu dari kami tertidur dibawah naungan langit malam penuh bintang. Dan pada masa itu, saya rasa semua hal yang ada di muka bumi ini berkonspirasi untuk membahagiakan saya.
 
Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, terima kasih…

Yog (1)



Sebetulnya, sama seperti setiap habis bepergian atau melakukan apapun, saya ingin buru-buru menulis apa-apa saja yang terjadi supaya tidak ada satu momen pun yang terlupakan. Namun, memang dasar kadang malas atau memang (sok) sibuk, jadi suka terlambat menulisnya. 

Jadi sekitar minggu lalu, saya pergi ke Yogyakarta (lagi). Pergi ke Yogyakarta kali ini ada dua hal sih. Yang pertama yaitu menikmati Yogyakarta lagi sama Ayah. Ayah saya sudah lama banget mau pergi (sekaligus pulang) ke kota kelahirannya itu, tapi baru kemarin kami sempat berduaan pergi kesana.

Kami berangkat naik kereta Fajar Utama yang berangkat pukul tujuh pagi. Saya selalu menikmati momen bepergian dengan Ayah saya karena ia penuh cerita! Dia bercerita dengan gayanya yang tak berubah sejak dahulu kala. Ia bercerita dengan tenang tanpa antusiasme berlebih, dan justru ketenangan ritmenya dalam bercerita malah membuat kita hanyut dalam cerita tetapi sempat mencernanya seketika.

Ya gitu, di sepanjang perjalanan kereta, Beliau bercerita mulai dari hal sekitar nama pohon ini, persawahan, kehidupan desa, lalu hingga masalah sejarah, politik, dan kehidupan. Sampai di Yogyakarta pun kami memutuskan naik becak. Enak banget sih, jadi ritme selownya masih terbawa-bawa sambil masih bisa melihat-lihat sekitar.

Selama di Yogyakarta, kami kebanyakan jalan-jalan sambil makan. Makan ini, makan itu, tapi sayang banget karena makanan yang Ayah idam-idamkan malah tempatnya sudah berganti rupa. Beliau kecewa sambil bertanya-tanya tanpa jawaban kemana pindahnya tempat makan itu.

Oh iya, terus sudah sejak lama Ayah saya ingin potong rambut di bawah pohon beringin yang ada di dekat alun-alun. Sejak saya telah memberitahukan bahwa kita akan pergi ke Yogyakarta di tengah bulan, saat makan malam Ia sering mengulang-ulang betapa inginnya Beliau potong rambut disana. Waktu kecil saya pernah tuh diajak potong rambut di bawah pohon beringin itu. Sambil menggerutu dalam hati, saya iya-iya saja. Ya gimana, kan rasanya malu potong rambut tapi di tepi jalan yang banyak orang mondar-mandir. Dengan membuka baju dan menahan sedikit malu, akhirnya saya dulu potong rambut juga disitu. Nah, lalu akhirnya pada hari kedua Ayah di Yogyakarta, beliau sore-sore pergi naik becak kesana dan berhasil memotong rambut disitu. Pulang-pulang, saya puji Beliau atas rambut barunya. Ya memang bagus sih, jadinya rapi banget gitu.

Setelahnya, saya pergi selama satu hari satu malam dan Beliau menikmati Yogyakarta itu sendirian. Esoknya juga saya pulang duluan ke Jakarta dan Ayah masih menghabiskan waktu selama tujuh hari penuh disana. Seperti orang Yogyakarta kebanyakan, siang-siang Ia makan gudeg, walau pada pagi harinya ia selalu sarapan gudangan dan lupis yang dibalut daun pisang itu.

Nah, Ayah saya beruntung banget karena ternyata pada hari Kamis, ada reuni teman-teman SMA-nya. Yaudah, bagus deh. Saya akhirnya membelikan tiket pulang lebih lama dari jadwal awal. Terus sebelum saya pulang, kami ke mall dulu untuk beli-beli baju yang agak rapihan karena yang Ayah bawa hanya kaos untuk jalan-jalan aja.

Pas saya sudah di Jakarta dan Ayah baru pulang dari reuninya, pukul dua dini hari Ayah sms saya sampai saya terbangun. Ayah cerita di sms kalau Beliau nyanyi-nyanyi, cerita-cerita, mengenang masa muda. Dini hari saya jadi bahagia dan senyum-senyum sendiri melihat Ayah jatuh senang seperti itu.

Sekarang rencana saya dan Ayah selanjutnya adalah pergi ke Banjarmasin. Ayah saya menghabiskan sebagian waktu kecilnya di kota sungai itu. Terkadang, Ia meminjam handphone saya lalu melihat-lihat tampakan Banjarmasin googlemaps. Ah, semoga secepatnya bisa terlaksana.

Saturday, 23 May 2015

Prambros

Jadi setelah seluruh rangkaian Seminar Ilmu Kesehatan Anak tentang NICU PICU Updates di Yogyakarta, malamnya saya ketemu sama Prambros ie. beberapa cowok dari teman satu kelompok awardee beasiswa kemarin. 

Saya bertemu dengan Muchammad Ichsan dan Anindito Baskoro di Sushi Tei Yogya. Muchammad Ichsan ini lulusan HI dengan IPK 3,99 (cuma satu nilai A-, sisanya A+++) dan Anindito baskoro ini penerima beasiswa geologi perminyakan di NTNU Norway. Hebat gak sih? Kalau meminjam slogan annoying jaman sekarang sih, saya seakan mau curhat: duh, aku mah apa atuh. 

Kita cerita banyak-banyak hal gitu. Mulai dari masalah agak serius seperti kedokteran, pengalaman Ichsan belajar Arabic Studies di Mesir, keseharian Dito dan Mamanya, sampai hal-hal yang kurang serius seperti tertawa terbahak-bahak mengingat yang sudah-sudah dan membahas golongan darah. Oh ya,  ngomong-ngomong tentang golongan darah yang dikaitkan dengan kepribadian ala Jepang, biasanya sih orang-orang menebak saya golongan darahnya A. Namun, mereka berdua dengan yakin berhasil menebak saya bergolongan darah B lho. Heran juga kok udah bisa liat aslinya saya. 


Terus kita membuat rencana-rencana gitu. Sebuah rencana dimana kami sekelompok akan bertemu lagi pada suatu saat beberapa tahun lagi, mungkin lima tahun atau tujuh tahun lagi atau kapan, di suatu tempat yang gak jauh-jauh banget tapi gak deket-deket banget juga. Saya juga pernah mendengar sih rencana seperti ini, biasanya rencana yang dibuat saat anak SMA atau kuliah lulus untuk dihitung-hitung sebagai reuni. 


Suatu saat dimana selama beberapa hari, tanpa membawa istri/suami atau anak, kita ketemuan lagi menghabiskan waktu bersama-sama. Wondering that all of us could remembering the old days and remembering how we used to get young.
Aamiin.




Background image from here

Wednesday, 6 May 2015

Karena Buku adalah Hadiah Kesukaan

Bulan ini saya dapat dua hadiah buku. Dua-duanya menyenangkan sekali.

Beberapa minggu lalu saat pulang ke rumah tiba-tiba dikejutkan dengan sebuah hadiah. Isi hadianya buku yang sangat saya idam-idamkan.  Dengan bungkus penuh love-love dan sticky note bertuliskan I love you, ya udah tau lah ya dari mana datangnya. Terima kasih ya pacar saya.


 Minggu lalu juga dikasih oleh-oleh buku dari Dita. Sudah lama juga mau beli novel bahasa Spanyol. Oleh-oleh dari youth exchange-nya dia di Eropa. Tapi dia belinya malah di toko buku di Ibiza yang surganya jedag-jedug. Terima kasih, Dita.

Sunday, 3 May 2015

Latihan

Banyak orang bilang saya sabar. Sebetulnya dulu saya sih gak pernah berpikir kalau saya demikian, tapi beberapa orang bilang demikian. Ibu saya bilang saya orangnya sabar, pacar juga bilang demikian, bahkan saat koasisten dulu, kalau ada pasien yang sulit atau penuh komplain, saya dijadikan lini terakhir karena katanya saya lebih bisa sabar menangani. Namun, kali ini saya justru bukan mau cerita kesabaran saya, tapi malah sebaliknya. Beberapa waktu belakangan ini, saya malah merasa saya bukan orang penyabar lagi. 

Mungkin baru juga bagi saya mendapatkan hal seperti ini. Perihal yang dimaksud mungkin tak usahlah dibicarakan. Intinya ada sesuatu yang membuat saya melewati ambang kesabaran yang biasanya saya miliki. Apa ini yang dinamakan 'semua orang punya batas kesabarannya masing-masing'? Walau saya sih seringnya berpikir yang namanya kesabaran ya jelas gak pake batas. 

Belakangan ini saya jadi lebih cepat gusar. Sedikit-sedikit saya gusar. Saya cepat gusar karena saya saking tidak inginnya bertemu dengan konflik. Lama-lama karena sering gusar itu, saya jadi merasa bukan orang yang sabar lagi. Lambat laun saya malah jadi merasa gak kenal lagi sama diri saya sendiri. Hal ini bikin saya sedih. Kadang-kadang malah bingung bertanya, saya itu siapa sih. 

Bumi, teman saya yang tenang-tenang menghanyutkan itu, bilang bahwa mungkin 2015 ini babak baru untuk saya. Jika hidup diibaratkan sekolah, setiap sekolah punya kesulitannya sendiri. Dalam tahun ini, mungkin ini latihan dari Tuhan untuk saya. Saya rasa mungkin ada benarnya juga.

Bagas, teman saya yang orangnya idealis itu, bilang bahwa hati-hati. Ya, bisa aja memang ini latihan dari Tuhan tentang kesabaran. Tapi kalau ini latihan dari Tuhan supaya lo ga yesman-yesman terus, gimana?

Jadinya saya malah gak tahu mana yang benar. Mungkin dua-duanya benar. Di satu sisi, saya harus belajar makin sabar, tapi di sisi lain juga harus belajar punya pendirian sendiri. Hmm, hidup ini memang belajar terus.

Friday, 1 May 2015

Ceritanya guru kesabaran saya gitu.

Life Lessons 101: Dwikorita Karnawati

Salah satu sesi awal pada Persiapan Keberangkatan Penerima Beasiswa LPDP 32 adalah sesi Kepemimpinan Transformatif yang dibawakan oleh Prof. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D. Beliau adalah rektor wanita pertama Universitas Gadjah Mada yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Ibu Dwikorita ini dikenal sebagai ahli kerentanan tanah akibat gempa bumi.


Di awal sesi, beliau menekankan betapa kontribusi kami ditunggu-tunggu oleh negara Indonesia. Bahkan dengan blak-blakan, beliau menyebutkan nominal biaya studi yang diberikan semata-mata agar kami menghayati bahwa mendapatkan beasiswa ini bukan semata-mata anugerah, tetapi juga tanggung jawab besar yang harus dijalankan dengan baik. 
 
"Kira-kira, beasiswa LPDP untuk satu orang awardee adalah 1,5 Milyar. Maka, jika Anda gagal, Anda telah menghabiskan dan menyia-nyiakan uang ibarat membangun satu desa selama lima tahun" 

Di sesi itu juga, beliau menjelaskan sih mengapa bidang studi teknik menjadi salah satu bidang yang diprioritaskan. 

"Indonesia itu negara yang amat kaya. Kita semua tahu itu. Tanah kita luas dan sumber daya alamnya melimpah ruah. Namun, kita baru bisa memberikan nilai pada sumber daya alam kita itu apabila kita memiliki IPTEK yang kuat. IPTEK adalah kekuatan, dan IPTEK ini akan bisa didapatkan bila SDM-nya bagus.

Di akhir sesi beliau, beliau banyak berbicara mengenai Social Enterpreneur, sesuatu yang masih baru untuk saya. Jadi di social enterpreneurship ini, kita tidak hanya berwirausaha untuk mencari keuntungan, tetapi juga mencari berkah dengan menebarkan manfaat bagi orang banyak. Salah satu pesannya dalam menjadi seorang wirausaha adalah inovasi.

"Cara untuk menjadi pionir inovasi adalah berjiwa sosial yang cermat membaca peluang. Lihatlah baik-baik pesaing kita. Pelajari. Lihat di unggul dimana, dan jangan lakukan yang serupa dengan itu. Kembangkan lah sesuatu yang belum ia kembangkan"

Saya selalu percaya mengenai kekuatan kata-kata. Kata-kata dari Ibu Korita ini membuka minggu PK-32 ini menjadi bermakna. Beliau memberikan pandangan kepada saya mengenai tanggung jawab kami sebagai awardee dan mengajarkan kami bagaimana untuk berinovasi berlandaskan kemanfaatan untuk orang banyak.

Terima Kasih, Ibu Dwikorita!

Tulisan ini hanya untukmu yang ingin mengerti.

CIN...TA
oleh Cipta Suhada
https://hada28.wordpress.com/

Ah! Mungkin banyak yang bosan mendengar kisah cinta. Tapi, tidak pernah bosan bahwa tanpa cinta, yang ada hanyalah perang di muka bumi ini. Cinta tidak pernah terdefinisi dengan mutlak, mungkin Kamus Besar Bahasa Indonesia atau Oxford Dictionaries tidak sepenuhnya mendefiniskan kata sakral itu dengan baik. 

Aku kembalikan padamu. Yang mengerti betul definisi itu.

Naik turunnya perbuatan dan kejadian cinta yang dialami oleh segelintir perasaan, membuat pikiran ini ingin sekali menuliskan beberapa poin sederhana yang mungkin mampu menyelamatkan hari-hari dalam bercinta.

Pertama, 
Bahwa cinta itu saling mengisi. Mengisi kekurangan, mengisi kelebihan. Kesepahaman, bahwa satu tujuan yang ingin dicapai dengan rasa yang sama.

Kedua, 
Bahwa cinta itu tidak mengikat. Pernikahan adalah salah satu bentuk ikatan atas dasar perasaan cinta. Dalam hukum negara dan agama, dua insan yang saling mengikat cinta mereka tak ayal akan saling terikat. Namun, perasaan yang ada dalam hati masing-masing pecinta? Biarkanlah bebas. Komitmen adalah apa yang membuat kita bertahan, yang menjadi alasan kita untuk kembali memperjuangkan perasaan yang mulai luntur, nilai-nilai kenangan yang mungkin belum ingin dilepas. 

Ketiga,
Bahwa cinta itu saling percaya. Kamu percaya aku, aku percaya kamu.

Keempat, 
Bahwa cinta itu tidak harus memiliki. Banyak yang mengatakan bullsh*t dengan cinta tak harus memiliki. Saya juga pernah berkata demikian. Apakah kalian memiliki Tuhan? Tidak secara nyata. Hanya nafsu yang membuat kita memaksa untuk saling memiliki. Keadaan yang tidak memungkinkan untuk saling memiliki, terimalah. Bahwa, mungkin takdir cinta berkata lain, bahwa ikhlas, untuk mencinta dalam bentuk lainnya. Ikhlas. Pahami, dan biarkan cinta itu bebas.

Kelima, 
Bahwa cinta itu tidak berharap. Ketika kita biarkan cinta itu ikhlas, menguasai pikiran nafsu, cinta itu tidak berharap. Tidak memaksa, tidak mengecewakan, tidak menyedihkan, tidak bergantung. Menjadi dewasa untuk cinta, dan biarkan hati ini bercinta.

Tulisan ini hanya untukmu yang ingin mengerti.

#2



Terlalu banyak memori dan kejadian terkadang malah menjadi sulit untuk ditulis.
Tapi, akan segera saya ceritakan.

Hasil yang Merelakan Usaha.

Jadi dokter itu berusaha. Berusaha berpikir harus melakukan apa biar pasien sembuh, harus belajar agar tidak ada hal penting yang terlupakan...