Monday 28 November 2016

Endorphinic Raindrops

Friendship is one of the most precious thing in the world. Aristotle, Confucius, or any other philosophers agree that friendship has a strong connection to human hapiness. I’ve been knowing how is it to grow as a friendless human being. It was painful. Years ago I was so afraid what if I enter the gate of adulthood without a good friend. But Thank God I guess somehow I already had them. 

Last weekend, my bros, Bagaskara dan Bumi were visiting Yogyakarta only for one day. We wanted to spend more time but hell yeah we were kinda busy. Altough it was only a short moment, but we were happy anyway.

I had to do some hospital chores so I ended up meeting them around seven in the evening. They spent the day on a hotel near Malioboro because they like to have some series of long footsteps among the streets there. I met them on a new coffee shop near Tugu Yogyakarta. We sat on the outside so we could see the rain that filled the air of the city.

We ordered coffee. I drank the black one with no sugar while Bagaskara had a hot espresso and Bumi had the cappuccino. We laughed as we finished our order. Haha how time does change ours! In our previous years, Bagas was the only person to order a coffee because I was a tea person and Bumi almost always drink a milk back then. But look at us now, adulthood serve us with the need of caffeine dose each day to make us alive.

We shared stories on that hours. About my sleepless pediatric residency (they condolence me so bad since they know I always need a proper time of sleep) and about Bagaskara’s interview on Oil company and Bumi’s plan to work on Education Minisry (they finally finished their study in UK and currently a qualified jobseeker).

As it was near midnight and coffee still could not heal our sleepy feeling, we were saying goodbye. We took a picture of our long lost reunion and headed back to our place.

I walked home under my umbrella. It was still raining in Yogyakarta. I was so happy. Feels like each of the raindrop was filled with endorphin. And I am thanking God for this particular friendship.

Have the best of luck and see you until I see you again, Bro.

Sunday 10 July 2016

An Important Sentimental Thought.

One day on a bench of Senayan park when my friend and I were doing some evening sport, we were talking about how we loved our parents so much. I knew that it was actually an ordinary subject to discuss but at that moment, we really feel that at our adulthood age, our love towards our parents grew deeper until it rooted in our daily life.

We both agreed that nowadays, every time we would like to do something bad, we re-concern whether it would break our parents heart. On the other hand, we also inspired to do more productive things simply not to make our lives better but also to make their lives better too.

Our parents are already old now. They are no more productive and they believe their dreams mostly on their children. My mother gave up most of her life struggling for my education and living. I could say that I am her only chance to make her proud since I am an only child. I am nothing without her, literally. Her prayers are my lucky charms.

That evening, my friend and I had a very sentimental chat and we came with a conclusion:

Bagas: "So, Dam, aren't we agree about what is faster than the speed of sound or light?"
Damar: "Absolutely. The only thing that faster than the speed of sound or light is a mother's prayer towards her child"
Bagas: "I-n-d-e-e-d, bro"


Today is my mother's birthday

Wednesday 6 July 2016

Eid 2016


Sometimes I knew I was such an asshole and so ignorant. Sometimes I did not reply text messages. I am a bad person. How am I so ungrateful to have you guys.

On this Eid, I would like to present my deepest apology to those important good people that have been so kind to me so far. I am thanking God that you guys are still be there for me always, no matter how sucks I am. I need you guys, always and forever.

Happy Eid Greetings. 
May life brings us more good things ahead. 
I love you all

Sunday 3 July 2016

Sunday 26 June 2016

Sahabat


Rasa itu bisa ditemukan diantara sekelompok manusia muda yang meliuk berdentam seiring hentakan musik di diskotik.
Atau diantara jarak 30 cm antara dua manusia tua yang membaca sunyi di kedai kopi.
Beberapa menemukan rasa itu dalam gemuruh euforik bagai kembang api yang meletup secara orgasmik.
Beberapa menemukannya dalam keheningan yang dalam seperti meditasi yang dilakukan dalam keheningan serupa palung samudera.
Ada banyak cara bersahabat.
Namun, semuanya punya rasa yang serupa.
Wahai kalian: sahabat-sahabat yang telah baik luar biasa kepada saya, terima kasih telah singgah dalam gemerlap dan keheningan hidup ini.

Saturday 25 June 2016

#lifegoal

In dream begins responsibilities
Haruki Murakami

Sudah lama banget sejak terakhir gue ga membuat rencana apa-apa dalam hidup gue. Yeah, gue merasa jadi agak flat dan tak terarah. Sebelumnya hidup gue penuh dengan rencana dan mimpi akan ini itu, yang membuat setidaknya setiap pagi saat bangun, punya sesuatu untuk gue capai. Namun, belakangan waktu itu, gue lupa akan hal itu sampai kemarin, saat gue membongkar koper untuk mencari celana renang (dimana resolusi gue di Yogya adalah berenang rutin tetapi kenyataannya sekali pun belum pernah berenang), gue menemukan lipatan karton itu. 

Buat gue, lipatan karton itu berharga banget. Berharga karena di lipatan karton itu gue menorehkan hal-hal yang gue ingin capai. Lipatan karton itu sudah bertahun-tahun gue letakkan di kamar-kamar gue, mulai dari kamar kost saat gue masih kuliah di Palembang, saat gue internship di Lubuk Linggau, dan di rumah gue di Jakarta. 

Lipatan karton itu gue buat sejak 2009. Hmm, lumayan juga benda itu sudah berumur 5 tahun sekarang. Ada banyak kotak di lembaran karton putih itu, beberapa telah berhasil gue coret karena telah menjadi kenyataan. Beberapa sisanya lagi harus gue coret karena ternyata gagal. 

Ada sekitar 80-an #lifegoal dalam lembaran itu. Mulai dari hal terkecil seperti memiliki kamera hingga hal terbesar seperti gue ingin jadi menteri pendidikan! haha. Beberapa sudah pasti gagal karena terlanjur lewat masa (seperti lolos seleksi PPAN) dan beberapa juga sudah berhasil (menjadi Abang Jakarta Timur=walau akhirnya jadi Barat). Beberapa terdengar lucu saking sederhananya, beberapa terdengar lucu pula saking diluar nalarnya. Namun, gue akui bahwa yeah, those are my dreams.

Lipatan karton itu sudah agak renta karena lipatannya terlalu banyak dan robek disana-sini. Esok hari gue akan membeli karton baru untuk menyalinnya dan menambahkan #lifegoal lain yang akan gue kejar. 
Allah SWT, Tuhan Yang Merajai Semesta, jika Engkau dapat menciptakan seisi dunia, maka kuserahkan lipatan karton #lifegoal ini untuk bisa jadi rencana-Mu. Namun, terima kasih sebelumnya atas semua #lifegoal yang jadi kenyataan pun yang tidak.

v = s/t

Yellow Cafe
Bagas: “Ah, Pusing banget ini buku bacaan. Teman-teman gue baca sekali udah langsung mengerti. Gue kadang harus baca lima kali baru bisa paham”
D:  “Iya, dulu gue juga persis pernah merasakan demikian. Tinggal satu rumah sama teman yang ga pernah baca tapi sekali baca langsung mengerti. Untungnya, seorang residen senior akhirnya pernah bilang ini ke gue:
“Jikalau orang bisa mengerti sesuatu hanya dengan sekali baca, itu urusan mereka. Jika kamu tak bisa mengerti hanya dengan sekali membaca, bacalah dua kali. Jika dua kali belum bisa mengerti, bacalah tiga kali dan seterusnya. Itu kewajibanmu”
“Nah, setelah itu malam harinya gue teringat akan salah satu rumus fisika paling dasar yakni rumus kecepatan.
v = s/t  atau s = v.t
Bila boleh dimasukkan ke persoalan tadi, v adalah kecepatan menangkap seseorang, s adalah ukuran bacaannya, dan t adalah waktu bacanya. Bila tiap orang memiliki v-nya masing-masing dan beban s yang sama, makanya satu-satunya hal yang mampu kita manipulasi adalah t atau waktu.
Orang yang kecepatannya rendah bisa menyamakan tugas tersebut dengan memperbanyak kualitas waktunya. Tentu hal ini juga bisa diaplikasikan pada kasus-kasus lainnya.
Ya, jadi terlihat lah bahwa variabel  t ini bebas kita manipulasi. Jadi, janganlah lo terlalu khawatir akan v orang yang berbeda-beda. Masih bisa lo kejar asal lo pandai memanipulasi waktu, Gas.”
Bagas: “Iya, benar juga ya. Beberapa orang memang harus mengejar melalui memberikan waktu yang lebih banyak dan cara yang lebih tepat"
Suatu percakapan sambil menunggu Bumi di kafe bernuansa kuning di sebelah kiri perpustakaan Senayan.

Dear, philosophy.

I started to realise that no matter how hard this phase is, it's just a little part of my life and will not define my general life.

Then I also aware that altough there are some people who mad or hate me, they are not the essential people of mine so the don't define my social life.

Dear, Philosophy. Thank you for the adjusment of perspective.

Monday 25 April 2016

Surat






Seringkali saya berpikir alam-dalam saat melihat para tetua yang sibuk memarahi dan meremehkan para muda-muda akan ketidakbisaannya. 

"Begini saja tidak bisa"
"Masa hal seperti ini saja tidak tahu"
"Yang cepat pikirnya, jangan lamban"

Dan semua gertakan serius lainnya yang ditujukan sambil memasang aura antagonis tegas (atau sok tegas) dan dengan jiwa jumawa setinggi hati seolah ingin meradang mengabarkan bahwa 'hei, saya lebih pandai, saya lebih tahu'.

Saya rasa mungkin mereka lupa. Lupa bahwa sebelum mereka bisa, mereka pernah tak bisa. Sebelum mereka cepat dan otomatis, mereka pernah lamban berhati-hati dan dipenuhi kebingungan. Sebelum mereka jadi pandai dan paham, mereka pernah belum paham. Bahwa sebelum jadi tetua, mereka pernah jadi yang muda.

Saya yakin betul mereka lupa akan fase-fase tersebut. Mereka lupa pernah ada di posisi mereka yang lama. Yang mereka ingat hanya menyelamati diri mereka sendiri bahwa mereka telah tiba di puncak. Persetan dengan yang muda. 

Atau mungkin mereka sibuk berbangga hati bahwa yang mereka rasakan bukan apa-apa karena mereka punya jalan yang lebih berat dibanding kami. Lalu mulai yang lain menimpali satu per satu. Berlomba untuk jadi yang paling hebat, paling juara melewati beratnya masa lalu, atau menunjukkan diri bahwa mereka pandai. 

Apa kita semua akan jadi seperti mereka nantinya? Saat masa untuk menjadi tetua telah tiba di depan mata. Sungguh, saya rasa aku tak mau menjadi demikian. Namun, seorang tetua berkata bahwa lambat laun pasti aku akan menjadi semenyebalkan mereka. Saya rasa tidak, tetapi masa depan tak menawarkan lubang kunci untuk diintip dari selanya. 

Oleh karena itulah, kawan, saya menuls surat ini. surat berisi pesan untuk seorang saya di masa depan untuk mengingat hari ini. Agar bisa tetap waras di masa depan. Agar ingat bahwa saya punya masa-masa tidak tahu apa-apa.

Halo, Damar di masa depan, saya ingin kamu ingat. 

Hasil yang Merelakan Usaha.

Jadi dokter itu berusaha. Berusaha berpikir harus melakukan apa biar pasien sembuh, harus belajar agar tidak ada hal penting yang terlupakan...