Bumi Manusia oleh Pramoedya Ananta Toer:
Sebuah pengingat untuk berbangga hati menjadi pribumi asli
“Jangan hanya ya-ya-ya. Tuan terpelajar, bukan yes-man”
Bumi Manusia
adalah buku pertama dari Tetralogi Pulau Buru, sebuah karya besar karangan
Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis Indonesia yang mendapatkan beragam
penghargaan internasional yang karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari
41 bahasa.
Buku Bumi
Manusia bercerita tentang Minke, seorang anak pribumi asli keturunan Jawa yang
sehari-hari belajar di sekolah kenamaan Belanda H.B.S. Bergaul dengan kehidupan
Eropa membuat Minke menjadi pribadi yang terbuka matanya akan kemajuan
pemikiran dan pendidikan Eropa pada masa itu. Ia pun merasa prihatin akan pola
kehidupan dan pendidikan pribumi yang masih terbelakang di kala itu.
Walaupun ia
seorang putra dari bupati kenamaan, ia tak pernah merasa bangga dan berlebih
serta tak pernah mengaku bila ditanya hal demikian. Tidak menggunakan nama asli
yang penuh gelar Jawa, ia malah memakai nama Minke, tanpa nama keluarga
sehingga orang seringkali menanyakan mengapa ia tak memiliki nama keluarga.
Dalam bersekolah, ia mengandalkan usaha dan pemikirannya sendiri tanpa
embel-embel apapun.
“Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamannya sendiri”
"Lihat: aku hanya menghendaki nikmat dan jeripayahku sendiri. Yang lain tidak kuperlukan. Kehidupan senang bagiku bukan asal pemberian, tapi pergulatan sendiri
Bumbu romansa
melekat erat sejak awal bagian buku ini. Adalah Annelies Mellema yang menjadi
tambatan hati Minke. Annelies adalah anak dari Nyai Ontosoroh, seorang wanita
pribumi yang diperistri oleh seorang pejabat Belanda. Melalui sosok Nyai
Ontosoroh ini pula lah, Pramoedya menggambarkan kekuatan yang dapat dimiliki
oleh seorang pribumi.
“Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”“harus adil sudah sejak dalam pikiran, jangan ikut-ikutan jadi hakim tentang perkara yang tidak diketahui benar-tidaknya”
Berbeda
dengan predikat seorang nyai yang biasanya hanya menerima nasib dan sekedar
peduli akan harta inangnya saja, Nyai Ontosoroh adalah seorang pembelajar. Ia
menyerap semua hal yang ia harus pelajari dari suaminya, mulai dari bahasa
hingga masalah administrasi dan perpajakan, hingga pada akhornya Nyai sendiri
yang mengurus perkebunan dan peternakan beserta seluruh pekerja yang ada di
dalamnya.
“Minke: Mana mungkin? Mama bicara, membaca, mungkin juga menulis Belanda. Mana bisa tanpa sekolah?
Nyai Ontosoroh: Apa salahnya? Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima”
“Juga jangan jadi kriminil dalam percintaan---yang menaklukan wanita dengan gemerincing ringgit, kilau harta dan pangkat. Lelaki belakangan ini juga kriminil, sedangkan perempuan yang tertaklukan hanya pelacur”
Salah satu
bagian mencengangkan dari buku ini adalah keterusterangannya dalam
mendeskripsikan keberatannya atas adat Jawa yang mengharuskan seseorang
berjalan dengan lutut saat menemui orang yang lebih dituakan. Dengan berdumel,
Minke mendeskripsikan hal tersebut sebagai tindakan kolot yang disayangkan.
“Ikut dengan pendapat umum yang salah juga salah”“Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas. Kalau orang tak tahu batas, Tuhan akan memaksanya tahu dengan caraNya sendiri”
Dalam buku
ini, Pramoedya juga menjelaskan persepsi masa itu dimana kaum pribumi berstatus
inferior dibandingkan kaum Eropa atau Indoeropa. Hal ini dapat dilihat dari beberapa
kejadian, seperti saat Tuan Mellema yang marah saat Minke yang seorang pribumi
datang ke rumahnya atau kejadian saat ia disindir oleh teman sekolahnya bahwa
ia hanya seorang pribumi.
Merasa
prihatin dengan persepsi demikian, ia mendobrak dan menyerah diperlakukan
demikian. Minke adalah siswa yang pandai, bahkan terpandai di sekolahnya.
Selain pandai di sekolah, ia juga piawai dalam menulis sehingga
tulisan-tulisannya secara rutin dimuat dalam surat kabar tempo itu.
"Lukisan adalah sastra dalam warna-warni. Sastra adalah lukisan dalam bahasa"
“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai”
Hal terbaik
dari buku ini adalah keberanian Minke untuk menolak nasib yang diberikan
kepadanya. Ia menolak persepsi bahwa Pribumi adalah kaum kelas dua. Keberanian
Minke dalam memperjuangkan idealisme dan kebenaran juga patut dicontoh.
Tulisan-tulisan Minke yang kritis juga menjadi salah satu contoh akan ungkapan
bahwa pena atau tulisan dapat menjadi senjata yang lebih ampuh dibandingkan
senjata lain.
Buku ini
merupakan salah satu masterpiece
roman Indonesia yang harus dibaca oleh seluruh lapisan masyarakat, mungkin
terutama generasi muda untuk bisa berani menjadi kebanggan bangsa di situasi
sekarang ini.
No comments:
Post a Comment