Monday 13 October 2014

Bumi Manusia

Bumi Manusia oleh Pramoedya Ananta Toer:
 Sebuah pengingat untuk berbangga hati menjadi pribumi asli
“Jangan hanya ya-ya-ya. Tuan terpelajar, bukan yes-man”



Bumi Manusia adalah buku pertama dari Tetralogi Pulau Buru, sebuah karya besar karangan Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis Indonesia yang mendapatkan beragam penghargaan internasional yang karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa.
Buku Bumi Manusia bercerita tentang Minke, seorang anak pribumi asli keturunan Jawa yang sehari-hari belajar di sekolah kenamaan Belanda H.B.S. Bergaul dengan kehidupan Eropa membuat Minke menjadi pribadi yang terbuka matanya akan kemajuan pemikiran dan pendidikan Eropa pada masa itu. Ia pun merasa prihatin akan pola kehidupan dan pendidikan pribumi yang masih terbelakang di kala itu.
Walaupun ia seorang putra dari bupati kenamaan, ia tak pernah merasa bangga dan berlebih serta tak pernah mengaku bila ditanya hal demikian. Tidak menggunakan nama asli yang penuh gelar Jawa, ia malah memakai nama Minke, tanpa nama keluarga sehingga orang seringkali menanyakan mengapa ia tak memiliki nama keluarga. Dalam bersekolah, ia mengandalkan usaha dan pemikirannya sendiri tanpa embel-embel apapun.

“Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamannya sendiri”
"Lihat: aku hanya menghendaki nikmat dan jeripayahku sendiri. Yang lain tidak kuperlukan. Kehidupan senang bagiku bukan asal pemberian, tapi pergulatan sendiri
Bumbu romansa melekat erat sejak awal bagian buku ini. Adalah Annelies Mellema yang menjadi tambatan hati Minke. Annelies adalah anak dari Nyai Ontosoroh, seorang wanita pribumi yang diperistri oleh seorang pejabat Belanda. Melalui sosok Nyai Ontosoroh ini pula lah, Pramoedya menggambarkan kekuatan yang dapat dimiliki oleh seorang pribumi.
“Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”

“harus adil sudah sejak dalam pikiran, jangan ikut-ikutan jadi hakim tentang perkara yang tidak diketahui benar-tidaknya”
Berbeda dengan predikat seorang nyai yang biasanya hanya menerima nasib dan sekedar peduli akan harta inangnya saja, Nyai Ontosoroh adalah seorang pembelajar. Ia menyerap semua hal yang ia harus pelajari dari suaminya, mulai dari bahasa hingga masalah administrasi dan perpajakan, hingga pada akhornya Nyai sendiri yang mengurus perkebunan dan peternakan beserta seluruh pekerja yang ada di dalamnya.
“Minke: Mana mungkin? Mama bicara, membaca, mungkin juga menulis Belanda. Mana bisa tanpa sekolah?
 Nyai Ontosoroh: Apa salahnya? Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima”
“Juga jangan jadi kriminil dalam percintaan---yang menaklukan wanita dengan gemerincing ringgit, kilau harta dan pangkat. Lelaki belakangan ini juga kriminil, sedangkan perempuan yang tertaklukan hanya pelacur”


Salah satu bagian mencengangkan dari buku ini adalah keterusterangannya dalam mendeskripsikan keberatannya atas adat Jawa yang mengharuskan seseorang berjalan dengan lutut saat menemui orang yang lebih dituakan. Dengan berdumel, Minke mendeskripsikan hal tersebut sebagai tindakan kolot yang disayangkan.


“Ikut dengan pendapat umum yang salah juga salah”

“Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas. Kalau orang tak tahu batas, Tuhan akan memaksanya tahu dengan caraNya sendiri”


Dalam buku ini, Pramoedya juga menjelaskan persepsi masa itu dimana kaum pribumi berstatus inferior dibandingkan kaum Eropa atau Indoeropa. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kejadian, seperti saat Tuan Mellema yang marah saat Minke yang seorang pribumi datang ke rumahnya atau kejadian saat ia disindir oleh teman sekolahnya bahwa ia hanya seorang pribumi.

Merasa prihatin dengan persepsi demikian, ia mendobrak dan menyerah diperlakukan demikian. Minke adalah siswa yang pandai, bahkan terpandai di sekolahnya. Selain pandai di sekolah, ia juga piawai dalam menulis sehingga tulisan-tulisannya secara rutin dimuat dalam surat kabar tempo itu.
"Lukisan adalah sastra dalam warna-warni. Sastra adalah lukisan dalam bahasa"
“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai”
Hal terbaik dari buku ini adalah keberanian Minke untuk menolak nasib yang diberikan kepadanya. Ia menolak persepsi bahwa Pribumi adalah kaum kelas dua. Keberanian Minke dalam memperjuangkan idealisme dan kebenaran juga patut dicontoh. Tulisan-tulisan Minke yang kritis juga menjadi salah satu contoh akan ungkapan bahwa pena atau tulisan dapat menjadi senjata yang lebih ampuh dibandingkan senjata lain.

Buku ini merupakan salah satu masterpiece roman Indonesia yang harus dibaca oleh seluruh lapisan masyarakat, mungkin terutama generasi muda untuk bisa berani menjadi kebanggan bangsa di situasi sekarang ini.

No comments:

Post a Comment

Hasil yang Merelakan Usaha.

Jadi dokter itu berusaha. Berusaha berpikir harus melakukan apa biar pasien sembuh, harus belajar agar tidak ada hal penting yang terlupakan...