Saturday, 19 July 2014

Memoir

Everytime I hear an old song from the radio that I used to like,
I feel a shot of breathless.
How pathetic for a human 
knowing that there is no way back to repeat the old times again.
Not a single moment, not a single minute.
During that song being played, 
I lost into memories. 
And sober again by the time that song ends.

Friday, 18 July 2014

The Investment of Friendship


“One of the biggest investments in life is ...
having an eternal friendship”


Several days ago, I (finally) met my best friends, Ilham and Bagaskara. It has been hard to match our schedule these days, so I was freakin glad that we finally could do iftar together. We all met in Palembang. Ilham was originally lived there while Bagaskara and I were coming from Jakarta, but now we all working here on the city.

Let me tell you some virtue about my best friends. Ilham Nara is an extrovert who work as a banker  in Citibank. He could easily make a good relationship with people. He is a type of person that everyone would like to spend time with. With that gift, in less than one year, he could be one of the best banker at his office, leading his colleague that already worked there before him. He is a philantrophic at his heart. He likes to help people a lot. He always bring snack in his bag, and guess what, he likes to give that snacks to child beggar on the street.  I believe his giving virtue makes him as one of the luckiest people that I ever knew.


My other best friend is Bagaskara. He is an architect working for a firm in Jakarta. He is a super nocturnal people and a true introvert, more introvert than me. He use gadgets for business, working, and browsing only. He has no social media but twitter. But on his twitter, he only follows three people: Ilham, me, and his girlfriend. Most of his tweet is actually only a sort of his diary. He is a very good problem solver. He studied architecture but he read a lot about psychology and philosophy. When Ilham and I are confused about something, we usually come to him and he will explaine the problem kinda scientifically.

It is with these two people, I became the true version of my self. We do laughters together. We also feel happy among our moments of silence. It’s an eternal friendship, I guess.
It is important to invest something in our life. Some of us invest on jewelries, properties or stocks, for the sake of our future financial security. I do agree with that, but I believe there is also something more important to invest for the sake of our future general life. I believe the thing is friendship

The investment of an eternal friendship usually did on our youth time. It is the range of time when we are faced with a lot of people. Some of them are our school mate, campus mate, a hangout friend, friends with same hobby, or our colleagues at office. It is important to maintain some really good people as our close friend that can stick with us together as years goes by because by the time when we were getting older, we’re facing so many problems in office, family, financial, and so on, so we have less time to socialize; we also no longer meet many people like when we were young. That is why we should invest it on our youth.

An eternal friendship doesn’t have to be overly attached and hangout regularly. As we get busier, it is sometimes hard to spare time like the old times. But eternal friends will fully understand it and still feel like a close friend despite time and space.
When I was a teenager, sometimes I feel afraid to grow up friendless --Having no friends to hangout with when I am old, no place to share stories, and things alike. But fortunately, in my present time, I already know which person are my eternal friendships and I feel safer that I won’t be lonesome. It is indeed one my precious investment.





Tuesday, 15 July 2014

Lost in Words


Yeah, I like that comfortable feeling.
The vibe that spreads between the halls of books in the library.
The smell that comes from the aromas of papers around me
The sweet love story or amazing facts of science that moves visually from books to brain
There are thousands wise teacher inside that room
Yet the place is so silent and calm, seems like it was meditating

I get lost among these thousands of books and unlimited words in it
I am amazed by the way that these books tells something to me
And for the first time in my life, I’d like being lost
And repeat it again and again.

For some people, like me for example
 Library is a magical place



(Wrote in library@senayan, one of my most favorite and most visited place in the city)

Friday, 11 July 2014

Tulisan Tangan



Kebanyakan dari orang yang pernah melihat tulisan saya akan berkata sambil bertanya-tanya bagaimana tulisan saya bisa bagus dan rapi untuk ukuran lelaki, apalagi untuk ukuran seorang dokter. Beberapa bilang tulisan saya terlalu rapi seperti perempuan. Sedikit juga pernah bilang mirip mesin ketik. Kalau dikomentari seperti itu, biasanya saya hanya senyum-senyum saja.

Sambil berpikir-pikir, kalau dipikir kenapa tulisan saya bagus, mungkin ada beberapa sebab yang terpikir. Pertama, mungkin karena turunan dari keluarga. Keluarga saya memiliki tulisan tangan yang amat rapi (yang laki-laki malah lebih rapi daripada yang perempuan).

Kedua, mungkin karena saya diajarkan menulis tangan sejak dini sekali. Seingat saya, sebelum masuk TK di usia 3 tahun, saya sudah bisa menulis. Saat TK juga tulisan saya tak pernah keluar garis, karena Ibu mengajarkannya demikian. Saya juga ingat saat saya kelas 1 SD, kami diberikan pelajaran menulis halus, yang bukunya disebut buku tebal tipis karena ada garis tebal dan tipis yang beriringan. Saat pelajaran itu, saya ingat saya menyelesaikannya dengan cepat sekali karena latihan demikian telah saya ulang-ulang dibawah perintah Ibu hampir setiap harinya. Ibu guru yang bingung itu, akhirnya menyuruh saya pulang duluan saja.

Ketiga, mungkin karena saya sering sekali menulis tangan. Sejak kecil, saya suka menulis cerita. Pernah ada buku tulis yang isinya cerita-cerita rakyat bikinan saya sendiri saat saya kelas 5 SD. Saat SMP dan SMA pula, cara belajar saya adalah merangkum. Otak saya tak cukup mampu untuk mencerna pelajaran hanya dalam satu dua kali baca. Saya harus menulis ulang sampai pegal-pegal. Waktu kuliah juga sebelum saya membeli laptop, tugas-tugas kuliah, dengan masabodonya saya kerjakan dengan menulis tangan walau teman-teman lain mengetiknya. Kebetulan dosen-dosen tak pernah bilang tegas bahwa tugas harus diketik, jadi saya tulis saja, Toh, tulisan saya rapi terbaca. Nilai tugaspun selalu keluar dan tak pernah jadi masalah.

Jadi mungkin alasan-alasan itu yang membuat tulisan saya agak rapi dalam ukuran seorang tulisan laki-laki.

Ohya, saya tak percaya Palmistry, Astrologi, apalagi tarot, yang saya percaya betul adalah Grafologi. Menurut saya, Grafologi itu ilmiah karena 30 anak dimasukkan ke dalam satu kelas yang diajari baca tulis oleh guru yang sama. Namun, tak akan pernah ada dari 30 anak itu yang memiliki tulisan serupa. Jadi, tulisan tangan adalah salah satu identitas otentik diri.

Tuesday, 8 July 2014

Satu Halaman Buku tentang Ibuku yang Begitu

Ayahku seorang yang tenang. Terlalu tenang malah untuk ukuran lelaki bapak-bapak. Sungguh, Ia jarang sekali marah. Kalau aku mengira-ngira bahwa aku  hanya marah betulan sekali dalam setahun, Beliau mungkin 3 tahun sekali. Seingatku, sejak kepulanganku dari kuliah di luar kota hingga saat ini, belum ada satu kali pun aku melihat atau mendengar cerita bahwa Ia marah. Beliau tenang tapi tidak pasif, walaupun terlalu apa adanya menerima semua hidup.

Kepribadian Ayah itu menurun kepadaku. Namun, entah apa jadinya kalau kepribadian yang aku punya ini 100%-nya mirip Beliau. Untung saja untung, hal itu tidak kejadian. Walau benang merah kepribadianku mirip Ayahku tetapi Ibuku bagusnya ikut andil juga untuk tidak menjadikanku terlalu tenang. Ia memberiku sedikit gen kepribadiannya dan menggemblengku untuk ada apanya, tidak apa adanya melulu.

Walau ayah yang terus menerus mendikte bahwa baik itu perlu, aku mempelajari cara-caranya melalui Ibu. Saat kecil, aku selalu memberikan sedikit uang jajanku pada pengemis. Tapi Ibu selalu marah, bahkan aku pernah malu padanya mengapa Ia jahat tak mau memberi pengemis. Belakangan beberapa tahun lalu, baru aku tahu bahwa bahkan negara pun menolak masyarakat memberi kepada pengemis. Ada spanduk di jalan protokol bilang, “Bukan kami tak mau memberi, tapi kami tak mau kalian terus mengemis”. Ya, ibuku pernah bilang bahwa orang yang segar bugar tak seharusnya selalu meminta. Terkadang aku pikir Ia keras hati.

Namun, lebih sering aku merasa ia lembut hatinya. Ibu memang selalu mengajarkan aku welas asih. Ia tak pernah memberi uang pada pengemis, tapi sangat sering bila kami berbelanja di supermarket besar Goro di Kelapa Gading pada hari hujan, Ia akan memanggil anak-anak kecil yang mengojek payung dan mengajaknya duduk bersama di tangga-tangga depan supermarket sambil memberi seluruh anak-anak tersebut uang jajan yang lumayan membuat hatiku berkata “kenapa tidak buat aku saja”. Darinya, aku belajar banyak mengenai welas asih dan berbagi. Di sela-selanya obrolannya dengan anak-anak ojek payung warna-warni itu, Ibu bertanya-tanya banyak hal pada mereka. Bermacam-macam, tapi selalu ada percakapan mengenai sekolah mereka. 

Iya, Ibuku teramat-amat-amat peduli dengan sekolah! Saat aku kecil, Ayahku sering marah tapi Ibu tak pernah marah (berbeda dengan sekarang). Ia sering bilang “Bunda tak akan pernah marah besar kepadamu kecuali mengenai se-ko-lah!” (Iya, harus pakai tanda seru karena sekolah itu hal penting untuknya). Dan memang kata-katanya benar. Setiap ada hal buruk yang menyangkut pendidikanku, pasti aku kena marah besar. Sebelum masuk TK, aku telah diajarinya membaca setiap hari hingga pada usia tiga tahun kurang, aku sudah lancar betul membaca. Saat SD, aku ingat pernah mendapat nilai jelek dan merobek buku tulisku agar tak ketahuan. Sial sekali, sisa robekannya masih ada, sehingga Ia menginterogasiku walau aku tak mengaku. Karena keterlalupeduliannya akan sekolahku, Ia esoknya datang ke sekolah menanyakan nilaiku, dan pulangnya aku dimarahi. Pokoknya, Ia selalu peduli akan sekolahku.

Pernah juga saat SD dan SMP, aku bodoh sekali akan matematika. Saat nilaiku jelek, Ia marah besar lalu mengambil papan tulis putih dan spidol dan mengajariku tentang matematika itu. Awalnya aku tak paham hingga saat diajari dan dimarahinya, aku terus-terusan menangis. Aku sempat ingat aku pura-pura sakit, tapi ia tak peduli (Biasanya aku sakit sedikit, ia langsung panik). Untung setelah berjam-jam penuh haru biru itu, aku paham juga akhirnya. Setelahnya, nilai matematikaku membaik bahkan pernah jadi yang terbaik di kelas.

Saat menjelang lulus SMA, untung juga aku memiliki beliau. Kalau hanya mengikuti pola Ayahku, tak mungkin aku bisa menjadi sekarang ini. Itulah Ibuku yang dengan berani menjamin bahwa aku bisa sekolah kedokteran hingga selesai. Maka Ia menantang nasib dan menantang pendapatan keluarga kami perbulannya agar anak tunggal dari seorang keluarga kecil tanpa harta berlimpah ini tetap bisa sekolah kedokteran. Ibu kadang orang yang boros, tetapi Ia memutar otak, memutar tangan kaki, dan memutar dunianya sebisa mungkin asalkan aku bisa sekolah. Iya, dia selalu berkata “Nak, sekolahmu nomor satu”. Dan Ia menang melawan nasib demi aku. Saat aku lulus cumlaude dan sumpah dokter, Ia menangis. Ia bilang, dulu Ia yang ingin jadi dokter. Doanya dijawab Tuhan puluhan tahun kemudian melalui anaknya.

Membaca! Ibuku juga orang yang suka membaca. Jika aku runut baik-baik keluarga Ayahku, tak pernah ada yang suka membaca. Rak penuh isi buku pun tidak ada. Gen suka membaca ini datang dari Ibuku. Konon, dulu saat muda ia senang sekali membaca beragam buku, sekarang pun juga senang, tapi kebanyakan bukunya tentang kuliner. Setiap pergi ke mall, Ibu selalu mengajakku ke toko buku hingga hal itu jadi kebiasaan untukku. Kini, tidak pernah tidak, bila aku ke mall, selalu harus sempat ke toko buku. Bahkan kini, frekuensiku membaca jauh melebihi Ibu. Rak bukuku juga isinya ratusan. Ohya, saat lebaran waktu aku kecil, aku selalu mendapat porsi uang lebih banyak dari saudara-saudaraku, semata-mata karena Ibu selalu bilang, pasti uangnya akan aku belikan buku, dan orang-orang yang memberi uang lebaran tadi senang bila uang yang mereka beri digunakan bermanfaat.

Ya, itulah sedikit tentang ibuku. Kebalikan kepribadian dari Ayahku. Dan aku beruntung karena Beliau, aku jadi punya kegigihan dan sifat kerja keras untuk mendapatkan sesuatu, ditengah sifat asliku yang kadang terlalu tenang dan apa adanya.

Beberapa kali (biasanya saat aku ulang tahun), Ibuku sempat menangis sedikit dan meminta maaf padaku bahwa Ia belum bisa memenuhi hal-hal yang bisa Ibu lain berikan. Aku tahu, yang namanya orang tua pasti ingin anaknya bisa memiliki mainan sebagus anak lain, rumah yang bagus, dan ingin juga membelikan mobil seperti orang tua lain. Namun, jujur dari hati yang terdalam, aku tak ingin dibelikan oleh orang tuaku hal-hal yang sifatnya materiil seperti itu. 

Lebih dari mobil, rumah, gadget, atau materi lainnya. Aku kadang membusungkan dada memiliki orang tuaku yang sekarang karena yang mereka berikan lebih dari itu. Mereka memberikan hal-hal yang tidak bisa dinilai. Ibaratnya, aku bukan diberikan ikan-ikan yang banyak setiap hari, tetapi memberikan kail yang bagus. Dan Ibuku mengajarkan cara mengasah dan menggunakan kail tersebut. 

Dengan pelajaran tersebut, tahun-tahun kuliahku diisi oleh sekolah, kerja, dan lomba. Aku bekerja dan ikut lomba untuk menyambung hidupku di rantau, dan aku lihat Ibuku senang karenanya. Sejak kuliah itu, semua gadget, laptop, motor, mobil (walau belum bisa menyetir :/) dan barang-barang yang aku inginkan, aku sendiri yang dapatkan. Itulah mengapa rasanya aku lebih berterimakasih Ibu memberikan aku kail yang bagus, bukan ikan-ikan yang banyak. 

Di tengah kecerewetan-kecerewetannya (aku paling tak tahan dengan orang cerewet), aku mengaguminya. Usianya esok hari 62 tahun. Namun, jarang sekali ada yang pernah mengira usianya sudah sebanyak itu. Ia masih tegap walau kadang harus tertatih. Masih aktif juga disana-sini walau kadang suka vertigo. Teman-temanku yang pernah bertemu beliau selalu bilang Ia tampak lebih muda dari usia aslinya, dan aku selalu menimpalinya dengan “Sst..itu karena beliau pasang susuk hahaha”. Tentu saja ia punya sesuatu yang membuatnya muda, tapi itu bukan sulap lho, apalagi sihir.

Hal yang membuat Ia tetap muda adalah aku---anak tunggalnya yang kelewat santai dan cuek perangainya sampai ia suka sebal. Iya, aku yakin, Ia tampak lebih muda karena aku adalah semangatnya untuk bisa hidup sehat melihat anak tunggalnya yang masih mau begini begitu. 

Dibalik ketidaksempurnaannya sebagai seorang manusia, Aku belajar mengenai kesempurnaan seorang Ibu. Dan beliau adalah harta karun yang mewah sekali dalam hidupku.
Dari seluruh kebahagiaan dan cara-meraih-kebahagiaan yang telah Ia ajarkan kepadaku, aku hanya bisa membalas sangat sedikit. Hanya doa saja yang bisa aku titip pada Tuhan agar beliau sehat-sehat dan bahagia.

Halo, Emelly Rochany, Selamat Ulang Tahun.

Aku menempatkanmu di peringkat tiga dalam hidup ini. Setelah posisi Tuhan dan Nabi Muhammad SAW.


Sindroma Muak Gadget

Cukup deh. Gue udah agak muak sama yang namanya gadget. Gadget, yang makin lama makin canggih ini, dalam beberapa hal membuat hidup rasanya semakin sulit. Apa ya, terlalu banyak interaksi dalam gadget, dan itu melelahkan. Gue beberapa kali baca bahwa introvert butuh waktu untuk tenang sendiri untuk merecharge kondisi normalnya. Dan dengan adanya gadget, rasanya sulit untuk jadi tenang. 

Jujur gue kangen handphone nokia gue. Interaksi dilakukan secukupnya dengan handphone tersebut. Berinteraksi dengan orang lain bisa dilakukan melalui telepon atau sms secukupnya. Tidak ada yang namanya overload information (yet mostly meaningless) via Path, Instagram, atau lainnya.  

Gue seringkali dibuat heran dengan beberapa orang yang hampir tak pernah saya melihat orang tersebut sedang tidak memegang gadgetnya. Bahkan, yang mengesalkan, juga memegang gadgetnya tersebut saat kita semua sedang hangout bersama. Kalau urusan penting, ya bolehlah, tapi kalau sekedar melihat media sosial. Well, aint you got many times about it later? Tapi yasudahlah, untung kebanyakan teman dekat saya tidak seperti itu. 

Gadget memang berguna untuk alat komunikasi, tapi gue lebih memilih berkomunikasi personal daripada media sosial terutama Path. Memang juga alat informasi, tapi gue lebih memilih otak gue diisi oleh buku bacaan yang gue pegang dibandingkan informasi dari gadget yang sifatnya pendek dan sepotong-sepotong (kecuali ebook mungkin).

Yah, tapi memang intinya tetap ke kesenangan pribadi masing-masing. Entahlah, mungkin bumi yang pemalu semakin lama sudah menjadi semakin ekstrovert, sehingga manusia-manusia introvert agak merasa asing.

Personal Happiness



Dulu saat masih SMP atau SMA, teman-teman sebaya mendengarkan Blink 182, Greenday, atau band rock lainnya. Sebagai remaja yang merasa ingin tidak menjadi aneh karena berbeda selera, saya pun mendengarkan musik rock tersebut. Namun, ketika pulang ke rumah, saya mendapati diri saya tersenyum senang justru ketika mendengarkan lagu Luciano Pavarotti, Andrea Bocelli, Indra Lesmana, dan lainnya.

Beberapa tahun berlalu, sebagai seseorang yang belum paham bahwa manusia itu berbeda-beda kepribadiannya, saya kadang menganggap selera saya aneh. Namun, seiring usia menua, pengalaman bertambah, dan pengetahuan terisi, akhirnya saya menyadari bahwa hal yang lebih penting diatas hal-hal lain adalah kebahagiaan personal atau Personal Happiness.

Sekarang, saya lebih berdamai dengan selera saya yang kadang agak berbeda dari banyak orang. Tak pernah juga berniat sedikitpun untuk berusaha mencoba hal-hal yang kata orang menyenangkan walau kata saya tidak.

Pilihlah hal-hal yang membuat kita bahagia, bukan orang lain bahagia. Biarlah orang bahagia saat pergi berdubstepdubstep di DWP saat saya malah lebih nyaman melihat-lihat buku di perpustakaan Library@senayan. Biarlah orang senang gemuruh piala dunia sementara saya memilih nyaman tidur cepat. Orang-orang juga menganjurkan saya mengambil spesialisasi jantung, bedah, kebidanan, atau anak, sementara yang saya suka adalah tht, kulit, atau radiologi. Dan banyak contoh-contoh lainnya.

Intinya, semakin kita dewasa, semakin kita paham hal-hal yang membuat kita bahagia sehingga pada akhirnya, bukan kita yang diatur oleh dunia sekitar, tapi kita yang mengatur dunia kita sendiri. Dan Personal Happiness ini penting karena nilainya tidak dipengaruhi hal-hal luar.

Hasil yang Merelakan Usaha.

Jadi dokter itu berusaha. Berusaha berpikir harus melakukan apa biar pasien sembuh, harus belajar agar tidak ada hal penting yang terlupakan...