Ayahku
seorang yang tenang. Terlalu tenang malah untuk ukuran lelaki bapak-bapak. Sungguh,
Ia jarang sekali marah. Kalau aku mengira-ngira bahwa aku hanya marah betulan sekali dalam setahun,
Beliau mungkin 3 tahun sekali. Seingatku, sejak kepulanganku dari kuliah di
luar kota hingga saat ini, belum ada satu kali pun aku melihat atau mendengar
cerita bahwa Ia marah. Beliau tenang tapi tidak pasif, walaupun terlalu apa
adanya menerima semua hidup.
Kepribadian
Ayah itu menurun kepadaku. Namun, entah apa jadinya kalau kepribadian yang aku
punya ini 100%-nya mirip Beliau. Untung saja untung, hal itu tidak kejadian.
Walau benang merah kepribadianku mirip Ayahku tetapi Ibuku bagusnya ikut andil
juga untuk tidak menjadikanku terlalu tenang. Ia memberiku sedikit gen
kepribadiannya dan menggemblengku untuk ada apanya, tidak apa adanya melulu.
Walau
ayah yang terus menerus mendikte bahwa baik itu perlu, aku mempelajari
cara-caranya melalui Ibu. Saat kecil, aku selalu memberikan sedikit uang
jajanku pada pengemis. Tapi Ibu selalu marah, bahkan aku pernah malu padanya
mengapa Ia jahat tak mau memberi pengemis. Belakangan beberapa tahun lalu, baru
aku tahu bahwa bahkan negara pun menolak masyarakat memberi kepada pengemis.
Ada spanduk di jalan protokol bilang, “Bukan kami tak mau memberi, tapi kami
tak mau kalian terus mengemis”. Ya, ibuku pernah bilang bahwa orang yang segar
bugar tak seharusnya selalu meminta. Terkadang aku pikir Ia keras hati.
Namun,
lebih sering aku merasa ia lembut hatinya. Ibu memang selalu mengajarkan aku
welas asih. Ia tak pernah memberi uang pada pengemis, tapi sangat sering bila
kami berbelanja di supermarket besar Goro di Kelapa Gading pada hari hujan, Ia
akan memanggil anak-anak kecil yang mengojek payung dan mengajaknya duduk
bersama di tangga-tangga depan supermarket sambil memberi seluruh anak-anak
tersebut uang jajan yang lumayan membuat hatiku berkata “kenapa tidak buat aku
saja”. Darinya, aku belajar banyak mengenai welas asih dan berbagi. Di
sela-selanya obrolannya dengan anak-anak ojek payung warna-warni itu, Ibu
bertanya-tanya banyak hal pada mereka. Bermacam-macam, tapi selalu ada
percakapan mengenai sekolah mereka.
Iya,
Ibuku teramat-amat-amat peduli dengan sekolah! Saat aku kecil, Ayahku sering
marah tapi Ibu tak pernah marah (berbeda dengan sekarang). Ia sering bilang
“Bunda tak akan pernah marah besar kepadamu kecuali mengenai se-ko-lah!” (Iya,
harus pakai tanda seru karena sekolah itu hal penting untuknya). Dan memang
kata-katanya benar. Setiap ada hal buruk yang menyangkut pendidikanku, pasti
aku kena marah besar. Sebelum masuk TK, aku telah diajarinya membaca setiap
hari hingga pada usia tiga tahun kurang, aku sudah lancar betul membaca. Saat
SD, aku ingat pernah mendapat nilai jelek dan merobek buku tulisku agar tak
ketahuan. Sial sekali, sisa robekannya masih ada, sehingga Ia menginterogasiku
walau aku tak mengaku. Karena keterlalupeduliannya akan sekolahku, Ia esoknya
datang ke sekolah menanyakan nilaiku, dan pulangnya aku dimarahi. Pokoknya, Ia
selalu peduli akan sekolahku.
Pernah
juga saat SD dan SMP, aku bodoh sekali akan matematika. Saat nilaiku jelek, Ia
marah besar lalu mengambil papan tulis putih dan spidol dan mengajariku tentang
matematika itu. Awalnya aku tak paham hingga saat diajari dan dimarahinya, aku
terus-terusan menangis. Aku sempat ingat aku pura-pura sakit, tapi ia tak
peduli (Biasanya aku sakit sedikit, ia langsung panik). Untung setelah
berjam-jam penuh haru biru itu, aku paham juga akhirnya. Setelahnya, nilai
matematikaku membaik bahkan pernah jadi yang terbaik di kelas.
Saat
menjelang lulus SMA, untung juga aku memiliki beliau. Kalau hanya mengikuti
pola Ayahku, tak mungkin aku bisa menjadi sekarang ini. Itulah Ibuku yang
dengan berani menjamin bahwa aku bisa sekolah kedokteran hingga selesai. Maka
Ia menantang nasib dan menantang pendapatan keluarga kami perbulannya agar anak
tunggal dari seorang keluarga kecil tanpa harta berlimpah ini tetap bisa
sekolah kedokteran. Ibu kadang orang yang boros, tetapi Ia memutar otak,
memutar tangan kaki, dan memutar dunianya sebisa mungkin asalkan aku bisa
sekolah. Iya, dia selalu berkata “Nak, sekolahmu nomor satu”. Dan Ia menang
melawan nasib demi aku. Saat aku lulus cumlaude
dan sumpah dokter, Ia menangis. Ia bilang, dulu Ia yang ingin jadi dokter.
Doanya dijawab Tuhan puluhan tahun kemudian melalui anaknya.
Membaca!
Ibuku juga orang yang suka membaca. Jika aku runut baik-baik keluarga Ayahku,
tak pernah ada yang suka membaca. Rak penuh isi buku pun tidak ada. Gen suka
membaca ini datang dari Ibuku. Konon, dulu saat muda ia senang sekali membaca
beragam buku, sekarang pun juga senang, tapi kebanyakan bukunya tentang
kuliner. Setiap pergi ke mall, Ibu selalu mengajakku ke toko buku hingga hal
itu jadi kebiasaan untukku. Kini, tidak pernah tidak, bila aku ke mall, selalu
harus sempat ke toko buku. Bahkan kini, frekuensiku membaca jauh melebihi Ibu.
Rak bukuku juga isinya ratusan. Ohya, saat lebaran waktu aku kecil, aku selalu
mendapat porsi uang lebih banyak dari saudara-saudaraku, semata-mata karena Ibu
selalu bilang, pasti uangnya akan aku belikan buku, dan orang-orang yang
memberi uang lebaran tadi senang bila uang yang mereka beri digunakan
bermanfaat.
Ya,
itulah sedikit tentang ibuku. Kebalikan kepribadian dari Ayahku. Dan aku
beruntung karena Beliau, aku jadi punya kegigihan dan sifat kerja keras untuk
mendapatkan sesuatu, ditengah sifat asliku yang kadang terlalu tenang dan apa
adanya.
Beberapa
kali (biasanya saat aku ulang tahun), Ibuku sempat menangis sedikit dan meminta
maaf padaku bahwa Ia belum bisa memenuhi hal-hal yang bisa Ibu lain berikan.
Aku tahu, yang namanya orang tua pasti ingin anaknya bisa memiliki mainan
sebagus anak lain, rumah yang bagus, dan ingin juga membelikan mobil seperti
orang tua lain. Namun, jujur dari hati yang terdalam, aku tak ingin dibelikan
oleh orang tuaku hal-hal yang sifatnya materiil seperti itu.
Lebih
dari mobil, rumah, gadget, atau materi lainnya. Aku kadang membusungkan dada
memiliki orang tuaku yang sekarang karena yang mereka berikan lebih dari itu.
Mereka memberikan hal-hal yang tidak bisa dinilai. Ibaratnya, aku bukan
diberikan ikan-ikan yang banyak setiap hari, tetapi memberikan kail yang bagus.
Dan Ibuku mengajarkan cara mengasah dan menggunakan kail tersebut.
Dengan
pelajaran tersebut, tahun-tahun kuliahku diisi oleh sekolah, kerja, dan lomba.
Aku bekerja dan ikut lomba untuk menyambung hidupku di rantau, dan aku lihat
Ibuku senang karenanya. Sejak kuliah itu, semua gadget, laptop, motor, mobil
(walau belum bisa menyetir :/) dan barang-barang yang aku inginkan, aku sendiri
yang dapatkan. Itulah mengapa rasanya aku lebih berterimakasih Ibu memberikan
aku kail yang bagus, bukan ikan-ikan yang banyak.
Di
tengah kecerewetan-kecerewetannya (aku paling tak tahan dengan orang cerewet),
aku mengaguminya. Usianya esok hari 62 tahun. Namun, jarang sekali ada yang
pernah mengira usianya sudah sebanyak itu. Ia masih tegap walau kadang harus
tertatih. Masih aktif juga disana-sini walau kadang suka vertigo. Teman-temanku
yang pernah bertemu beliau selalu bilang Ia tampak lebih muda dari usia
aslinya, dan aku selalu menimpalinya dengan “Sst..itu karena beliau pasang
susuk hahaha”. Tentu saja ia punya sesuatu yang membuatnya muda, tapi itu bukan
sulap lho, apalagi sihir.
Hal
yang membuat Ia tetap muda adalah aku---anak tunggalnya yang kelewat santai dan
cuek perangainya sampai ia suka sebal. Iya, aku yakin, Ia tampak lebih muda
karena aku adalah semangatnya untuk bisa hidup sehat melihat anak tunggalnya
yang masih mau begini begitu.
Dibalik
ketidaksempurnaannya sebagai seorang manusia, Aku belajar mengenai kesempurnaan
seorang Ibu. Dan beliau adalah harta karun yang mewah sekali dalam hidupku.
Dari
seluruh kebahagiaan dan cara-meraih-kebahagiaan yang telah Ia ajarkan kepadaku,
aku hanya bisa membalas sangat sedikit. Hanya doa saja yang bisa aku titip pada
Tuhan agar beliau sehat-sehat dan bahagia.
Halo,
Emelly Rochany, Selamat Ulang Tahun.
Aku
menempatkanmu di peringkat tiga dalam hidup ini. Setelah posisi Tuhan dan Nabi
Muhammad SAW.