Sunday, 28 September 2014

Waktu.

time


Ya, ya, maafkanlah kalau blog ini harus saya isi dengan tulisan galau lagi. Saya tak begitu pandai bercerita kepada orang lain, apalagi bercerita sedih, maka jadilah saya tuliskan beberapa perasaannya kedalam tulisan, biar tak semua-semua yang dirasa mengendap masuk kedalam hati.
Di dini hari pukul dua ini, betapa saya ingin menulis.

Saat ini saya sedang menulis di sebuah kamar di rumah sakit. Sudah sepuluh hari saya tidak pulang ke rumah dan tidur setiap malam disini untuk menjaga ibu saya yang sedang sakit. Betapa mengherankan penyakit Abses Renal, yang dulu hanya pernah saya di buku teks Urologi karya Basuki, kini harus saya saksikan pada ibu saya sendiri. Betapa menyakitkannya ia setiap hari merasakan penyakitnya merangsang saraf nyeri di tubuhnya, menyebabkan rasa nyeri yang juga mendalam di perasaan saya.

Menyedihkan pula bertelepon dengan ayah saya bahwa penyakit paru kronis beliau belakangan juga sedang sering kambuh. Ah, betapa tiba-tiba terasa sulitnya menjadi anak tunggal dengan kondisi orang tua yang telah berpisah.Yang saya sedihkan adalah bagaimana saya, yang hanya seorang, dapat membagi waktu untuk mereka berdua di tempat yang berbeda. Sungguh saya ingin dapat mengurus keduanya. Membalas seluruh kebaikan yang mereka telah berikan. Mencari pintu-pintu dan jendela pahala dengan melayani mereka.

Kini saya mengerti bahwa waktu adalah komoditas paling berharga yang dapat saya investasikan untuk mereka. Betapa sekarang saya sangat ingin untuk menghabiskan waktu bersama mereka. Menginvestasikan waktu untuk mengambil benih berupa kenangan-kenangan yang bisa saya bawa sampai kami nanti mati.

Ya Tuhan, berikanlah kesembuhan kepada kedua orang tua saya. Berikanlah mereka kehidupan yang sehat dan membahagiakan. Berikanlah saya waktu untuk bisa membahagiakan mereka.
Sungguh, Engkaulah Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan.

0200AM

At the lowest point of my life, 2014th  edition

Thursday, 25 September 2014

Doski



Saya tak pernah begitu bisa membuka diri saya sepenuhnya, termasuk kepada pacar saya sendiri. Entahlah, mungkin dari lahir terbiasa hidup tanpa saudara menjadikan saya demikian. Namun, untuk pertama kalinya, saya membuka diri dan segi-segi kehidupan saya pada dirinya
 
Betapa saya heran dengan diri saya sendiri yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan atau kafe untuk bersama-sama berpacaran sambil belajar. Saya belajar dengan buku teks saya, ia belajar untuk persiapan ujian kedokteran giginya. Lalu saya yang biasanya melakukan solo travelling, juga pada akhirnya menghabiskan waktu beberapa hari di luar kota bersamanya.

Memang inilah yang mungkin dibutuhkan. Terlebih dari semua hal fisik dan hal terkait lainnya dari seseorang, yang paling saya butuhkan memanglah kenyamanan dari seseorang. Tak perlu dijelaskan apa yang saya sukai dari dirinya, tak pandai juga saya menjelaskan perasaan ini bahkan pada dirinya sendiri.

Ya, mungkin tak perlu dijelaskan lebih lanjut, tetapi cukup saya sendiri yang merasakan bahwa saya nyaman berada bersama dirinya. 

Memang hubungan kami beberapa kali dilanda cobaan. Cobaan yang datang dari perbedaan. Ia yang orangnya demikian berusaha menerima saya yang orangnya seperti ini, dan sebaliknya. Mungkin tak semua dari kebiasaan saya dapat ia ubah. Tidak juga saya ingin merubah kebiasaan-kebiasaan dirinya. Namun, mungkin demi kebersamaan kami, tak perlulah semua hal harus kita ubah, mungkin saja kami hanya harus menerima dan berdamai dengan beberapa kekurangan kami masing-masing.

Semoga saja Tuhan Yang Maha Mengetahui dapat menunjukkan jalannya. Jikalau ia jodoh saya, perlahan-lahan Tuhan tentu akan menunjukkan jalan kepadanya.

Akan aku usahakan. Demikian juga denganmu. Sisanya, mari kita serahkan saja kepada-Nya.

Sunday, 14 September 2014

Good Perspective



Good life
I ever read somewhere on a blog, I forget which one, that changed my perspective. The line’s saying, “You always complain the red light but you never celebrate the the green one”. 

Hell, yeah, that was true. Whenever I had a bad day, I used to feel really some kind of a crap. But after had reading that line, I analyzed that although there were times when I had a bad day, most of my days were actually good enough.

More than an innate virtue, I think this kind of thing is something that we gained. It does need practice. At first it might be damn hard, but as time goes by and our brain get used to it, it is nothing but our habitual virtue. 

We need positivity-
To see different perspective of something bad. To remember that one bad day does not destruct one good month, One bad week doesn’t destruct one good year, and one year of suffering doesn’t destroy our one good life we have. Bad days of our life were nothing than an added color to our life. 

This is a happy life afterall if you look it close enough.

Toru Watanabe

Norwegian Wood


Last month, I read Norwegian Wood by Haruki Murakami. This is the second book of him that I’ve read and turned out to be one of my favorite books. 

The story revolves around memories of Toru Watanabe. Memories about his past life, love, losing, friendship, and daily life. The story started when a 40-years-old Toru Watanabe hear Beatles’ Norwegian Wood that brought him back to the memories 20 years ago. It started from his rare friendship with Kizuki who made him met Naoko, the love of his life. The story moved to his daily life in university where he studied drama and his life in his dorm. He also made a love-friendship relationship with his classmate where their acts made me laugh sometimes. The fragments of the book revolves in so many times of his life, but there were mostly Naoko on each of the fragment.

The novel tells lots of beautiful touching descriptive lines. Lines about situation of a place or a personality of a person. What made me breathtaking is also about the way he told us the feelings that Toru had. It’s like we were really empathetically connected to his feelings. Awesome. 

Beside the storyline and his fabulous descriptive writings, what really made me fall in love with the book is its character. How Toru Watanabe, the main character of the book, has several similar personality and way of thinking with me.
Toru Watanabe

Here are some lines of the book that depicts my similarity with him.

I was more of a listener than a talker
(Hell, yeah am)

I didn’t have much to say to anything but kept to myself and my books. With my eyes closed, I would touch a familiar book and draw its fragrance deep inside me. 
This was enough to make me happy”
 (Fragrance of books!)

“Do you always travel alone like that?
Uh-huh
You enjoy solitude?”
(I like solitude travelling)

“Nothing special. I have things I like to do.
For instance?
Hiking trips. Swimming. Reading.
You like to do things alone, then?
I guess so. I could never get excited about games you play with other people. 
I can’t get into them. I lose interest”
(My kind of exercise)

“I was an only child. I was satisfied being alone”
(I am an only child)

“It may even be better with the time to read on the train”
(I do love to read on train so much)

“Oh well, what the hell, you obviously want to be alone, so I’ll leave you alone. 
Go ahead and think away your heart’s content”
(Happens to my love relationship)


See? It giggles me when I read those lines of the book. It is the first time in my life that I read a book that really close to my own thoughts and feelings.

Tuesday, 2 September 2014

F & F


Kemarin Minggu, setelah tujuh tahun tidak bertemu muka karena masing-masing kami tinggal di kota yang berbeda, akhirnya kami bertemu. Saya bertemu dengan dua sahabat yang masing-masing berawalan huruf F. Kami bertukar banyak cerita. Dimulai dari satu kalimat “How’s life?” yang merembet ke akar-akar cerita lainnya.

Saya dekat dengan dua orang ini pada satu bulan persiapan SPMB saja, tanpa mengira ikatan yang terjadi terus berlanjut selama ini. Kami belajar dari pukul 8 pagi hingga 8 malam. Kadang di kelas, lebih sering lagi di diskusi kelompok. Hari demi hari, kami selalu menduduki meja yang serupa. Dan dari sana itu bermula.

F yang satu itu perempuan. Tubuhnya mungil. Dulu ia bagian tim majalan sekolah. Kreatif, baik hati, dan menyenangkan. F yang satu lagi laki-laki. Dari luar tampak hitam seperti kegemarannya akan musik rock. Tapi kepribadiannya religius dan pikirannya idealis.

Saya, yang satu-satunya D ini, dulu malas sekali sholat. Namun, dua F ini teramat baik menjaga sholatnya. Membuat saya pada akhirnya ikut sholat juga. F yang laki-laki berhasil menjelaskan sudut pandang bahwa sholat lima waktu sehari sesungguhnya tidak berat sama sekali.

Kemarin kami bertemu dari siang hingga malam. Kami bertemu di Grand Indonesia (yang F laki-laki benci). Seperti biasa, saya bukan si pandai pembicaraan, kebanyakan saya bertanya lebih dalam atau mendengarkan lebih seksama. F yang laki-laki awalnya sedikit ngambek kecewa akan saya yang dinilainya sombong karena tidak menerima path request dan tidak membalas pesan facebooknya. Ah, memang perilaku media sosial saya mengecewakan beberapa orang. Namun pada akhirnya untung ia tak jadi marah.

F yang perempuan bercerita dia baru baikan dari sakit. Refluks Laringofaringeal, penyakit THT yang memang lama bisa sembuhnya. Saat saya bertemu dengannya, memang badannya masih agak lemah dan raut mukanya juga tak seceria dahulu. Tapi dia bersikeras untuk bertemu hari itu karena dia akan pergi sejenak.

F perempuan ini memiliki satu misi yang akan dilaksanakannya dua hari setelah kami bertemu. Ia akan pergi ke Pulau Xanana, Maluku Utara, untuk mencari ayahnya yang tak pernah ia temui selama 23 tahun. “Kenapa?”, saya dan F laki-laki bertanya. Ia bilang “Rindu”, sudah hanya itu saja yang ia bilang.

F yang laki-laki bercerita tentang pengalaman kerjanya di Kalimantan. Dimana pekerjaannya yang menilai kinerja karyawan menjadikannya satu kali hampir ditusuk oleh karyawan yang kinerjanya perlu diperbaiki. Selanjutnya ia bercerita masa lalu. Mengenai cinta terakhirnya yang harus berhenti karena si perempuan yang berwajah teduh itu selingkuh dengan yang lain.

“Lo inget ga sih, gue pernah beberapa kali nanya alamatlo secara berkala? Itu karena gue rencana mau ngirim kado buatlo. Gue siapkan jumlah baju dari tiap gue pergi naik gunung. Tapi kadonya kena banjir”, si F laki-laki berkata demikian.

Sedangkan saya, yang satu-satunya D ini, bercerita mengenai datarnya keseharian yang sedang saya jalani. Namun, pada akhirnya si F laki-laki menyinggung tentang kisah lama saya. Jadilah saya bercerita tentang i-saw-an-angel yang dulu pernah saya alami.

Pertemuan pertama kami setelah tujuh tahun diisi oleh sedikit cerita mengenai rencana masa depan, beberapa cerita masa kini, dan banyak cerita masa lalu. Kami kembali duduk di meja yang sama, tapi bukan untuk belajar seperti tujuh tahun lalu, tapi untuk mengingat bahwa kami bertiga dulu punya banyak cerita saat muda. Cerita yang selama ini tidur bersembunyi di sela-sela ingatan, tapi tiba-tiba menyeruak menari bebas saat kami bertemu.

“Gue benci banget ama lo, sombong. People come and go. But there are some people that I wanna keep forever, termasuk lo”

Well, yes, indeed, people come and go. But I left some of my pieces of home in the heart of my best friends. That’s why time or distance means nothing after all these years. Welcoming you, welcoming me, welcoming us, together again.

Hasil yang Merelakan Usaha.

Jadi dokter itu berusaha. Berusaha berpikir harus melakukan apa biar pasien sembuh, harus belajar agar tidak ada hal penting yang terlupakan...