Kemarin
Minggu, setelah tujuh tahun tidak bertemu muka karena masing-masing kami
tinggal di kota yang berbeda, akhirnya kami bertemu. Saya bertemu dengan dua
sahabat yang masing-masing berawalan huruf F. Kami bertukar banyak cerita.
Dimulai dari satu kalimat “How’s life?” yang merembet ke akar-akar cerita
lainnya.
Saya
dekat dengan dua orang ini pada satu bulan persiapan SPMB saja, tanpa mengira
ikatan yang terjadi terus berlanjut selama ini. Kami belajar dari pukul 8 pagi
hingga 8 malam. Kadang di kelas, lebih sering lagi di diskusi kelompok. Hari
demi hari, kami selalu menduduki meja yang serupa. Dan dari sana itu bermula.
F
yang satu itu perempuan. Tubuhnya mungil. Dulu ia bagian tim majalan sekolah.
Kreatif, baik hati, dan menyenangkan. F yang satu lagi laki-laki. Dari luar
tampak hitam seperti kegemarannya akan musik rock. Tapi kepribadiannya religius
dan pikirannya idealis.
Saya,
yang satu-satunya D ini, dulu malas sekali sholat. Namun, dua F ini teramat
baik menjaga sholatnya. Membuat saya pada akhirnya ikut sholat juga. F yang
laki-laki berhasil menjelaskan sudut pandang bahwa sholat lima waktu sehari
sesungguhnya tidak berat sama sekali.
Kemarin
kami bertemu dari siang hingga malam. Kami bertemu di Grand Indonesia (yang F
laki-laki benci). Seperti biasa, saya bukan si pandai pembicaraan, kebanyakan
saya bertanya lebih dalam atau mendengarkan lebih seksama. F yang laki-laki
awalnya sedikit ngambek kecewa akan saya yang dinilainya sombong
karena tidak menerima path request
dan tidak membalas pesan facebooknya.
Ah, memang perilaku media sosial saya mengecewakan beberapa orang. Namun pada
akhirnya untung ia tak jadi marah.
F
yang perempuan bercerita dia baru baikan dari sakit. Refluks Laringofaringeal,
penyakit THT yang memang lama bisa sembuhnya. Saat saya bertemu dengannya,
memang badannya masih agak lemah dan raut mukanya juga tak seceria dahulu. Tapi
dia bersikeras untuk bertemu hari itu karena dia akan pergi sejenak.
F
perempuan ini memiliki satu misi yang akan dilaksanakannya dua hari setelah
kami bertemu. Ia akan pergi ke Pulau Xanana, Maluku Utara, untuk mencari
ayahnya yang tak pernah ia temui selama 23 tahun. “Kenapa?”, saya dan F
laki-laki bertanya. Ia bilang “Rindu”, sudah hanya itu saja yang ia bilang.
F
yang laki-laki bercerita tentang pengalaman kerjanya di Kalimantan. Dimana
pekerjaannya yang menilai kinerja karyawan menjadikannya satu kali hampir
ditusuk oleh karyawan yang kinerjanya perlu diperbaiki. Selanjutnya ia
bercerita masa lalu. Mengenai cinta terakhirnya yang harus berhenti karena si
perempuan yang berwajah teduh itu selingkuh dengan yang lain.
“Lo
inget ga sih, gue pernah beberapa kali nanya alamatlo secara berkala? Itu
karena gue rencana mau ngirim kado buatlo. Gue siapkan jumlah baju dari tiap
gue pergi naik gunung. Tapi kadonya kena banjir”, si F laki-laki berkata
demikian.
Sedangkan
saya, yang satu-satunya D ini, bercerita mengenai datarnya keseharian yang
sedang saya jalani. Namun, pada akhirnya si F laki-laki menyinggung tentang
kisah lama saya. Jadilah saya bercerita tentang i-saw-an-angel yang dulu pernah
saya alami.
Pertemuan
pertama kami setelah tujuh tahun diisi oleh sedikit cerita mengenai rencana
masa depan, beberapa cerita masa kini, dan banyak cerita masa lalu. Kami
kembali duduk di meja yang sama, tapi bukan untuk belajar seperti tujuh tahun
lalu, tapi untuk mengingat bahwa kami bertiga dulu punya banyak cerita saat
muda. Cerita yang selama ini tidur bersembunyi di sela-sela ingatan, tapi
tiba-tiba menyeruak menari bebas saat kami bertemu.
“Gue benci banget ama lo, sombong. People come and go. But there are some people that I wanna keep forever, termasuk lo”
Well, yes, indeed, people
come and go. But I left some of my pieces of home in the
heart of my best friends. That’s why time or distance means nothing after all these years. Welcoming you, welcoming me, welcoming us, together again.
No comments:
Post a Comment