Thursday, 30 December 2021

Hasil yang Merelakan Usaha.

Jadi dokter itu berusaha. Berusaha berpikir harus melakukan apa biar pasien sembuh, harus belajar agar tidak ada hal penting yang terlupakan, dan bekerja untuk tetap tenang di tengah anak yang menangis dan orang tua yang coba menenangkan meski dalam hati menangis.

Ketika bekerja di instalasi kanker anak, ada satu pasien yang kondisinya kurang baik. Saya menghabiskan waktu lebih untuk pasien dan keluarganya itu karena selain kondisi si anak yang lebih rumit, saya juga harus memberi kekuatan dan pengharapan yang tepat untuk orang tua. Pasien tersebut masih berada di instalasi kanker tersebut hingga akhirnya saya harus berpindah tugas ke bagian lain.

Satu bulan kemudian, saya bertemu kembali dengan ibu dari si pasien dan mencari saya. Ternyata ibu tersebut datang ke rumah sakit hanya untuk mengabari saya bahwa anaknya telah meninggal dunia karena kondisi kankernya yang tidak bisa disembuhkan. Ia datang bersama si adik dari almarhum yang ingin dikenalkan kepada saya.

Jujur saya sedikit menangis ketika bertemu mereka. Saya bersedih atas kepergian si anak dan saya juga terharu bahwa meskipun si anak tidak berhasil melawan kankernya dengan semua protokol kemoterapi yang telah kami usahakan bersama, ternyata si ibu masih datang untuk mengabari dan mengucap terima kasih.

Dari titik itu, saya mengetahui bahwa pasien dan orang tua bisa merasakan bahwa "yes, we're trying our best", meskipun hasilnya jauh dari usaha.

Halo, adik kecil, terima kasih telah berjuang bersama.

Friday, 24 December 2021

Sekolah (Lagi)

Halo, Sekolah!

Ujian Simak UI dan nomor peserta ujian.


Wah, sebagian besar hidup saya dihabiskan dengan sekolah. Dulu ketika selesai pendidikan dokter selama 5 tahun dan berada pada fase internship, saya sudah was-was banget ingin segera lanjut ppds (pendidikan dokter spesialis). Lalu setelah selesai ppds dan bekerja selama 1 tahun terakhis, saya juga sudah was-was banget (lagi) untuk lanjut sekolah lagi. 

Namun, salah satu kegiatan ketika menjadi dewasa ternyata adalah kompromi untuk menyeimbangkan antara keinginan, kebutuhan, dan kesempatan. Kalau sebatas keinginan, wah, saya mungkin sudah menerima tawaran menjadi dosen di UGM sesuai cita-cita awal dan barangkali sedang melanjutkan PhD di University of Melbourne. Kalau sebatas kebutuhan, mungkin saya hanya bekerja saja mati-matian sebagai wakil dari generasi sandwich untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga.

Akhirnya saya menimbang-nimbang kira-kira jalan manakah yang harus saya ambil untuk bisa mendapatkan titik tengah antara ketiga hal tadi (keinginan, kebutuhan, dan kesempatan). Akhirnya setelah menelaah antara mengambil strata 3 atau magister gizi atau magister psikologi, pilihan saya jatuh ke magister psikologi terapan anak usia dini di Universitas Indonesia.

Awalnya, saya masih maju mundur untuk mencobanya, tetapi wow, suatu cuitan di twitter langsung membuat saya yakin, oke lah, kita ambil saja! Cuitan tersebut adalah:

You're scared to spend 2 years learning a new skill at 28,
because by the time you're done, you'll be 30.
Well --- Whether you learn the skill or not, you'll still be 30 in two years

- Lewis Morgan

Dan iya juga, mau ngambil subspesialis juga belum bisa karena harus ada minimal masa kerja. Maka yasudah, baiknya waktu ini jangan disia-siakan.

+++

Akhirnya saya mendaftar dan membayar biayanya pada 5 November 2021. Lalu timbul masalah dan huru-hara baru, yakni ujian simak UI dilakukan pada 14 November 2021 alias 9 hari lagi! Wah, akhirnya berbekal kenekatan, saya buru-buru beli buku latihan soal dan belajar setiap hari.

Daftar di 5 November; ujiannya ternyata 9 hari lagi.

Salah satu tantangan lainnya adalah istri saya sedang berada di Yogyakarta untuk menyelesaikan tesisnya. Jadi, rutinitas saya kala itu lumayan sibuk dengan waktu tidur yang kurang. Pagi sampai sore kerja, lalu mengurus anak, dan setelah menidurkan anak, baru lah saya belajar. Syukurlah ketika ujian tiba, istri saya sudah berada di Jakarta sehingga saya bisa menjalani ujian masuk tanpa khawatir menemani anak. 

Situasi belajar sambil memantau Saskara yang sedang tidur.
(Pardon my bad-looking tight)
  





 +++

Ketika tiba saat pengumuman, kalau tidak salah itu hari Jumat, dan saya sedang berada di perjalanan pulang. Pengumumannya pukul 13.00, jadi setelah salat dan jajan sejenak di gading, saya me-refresh terus-menerus lamannya, padahal belum jam 13.00. Saya kira siapa tahu akan muncul lebih awal.

Ketika tepat pukul 13.00 WIB, saya berada di gocar dan saya senang sekali mengetahui bahwa saya lulus diterima menjadi mahasiswa Universitas Indonesia. Setelah senang, saya jadi deg-degan lagi tentang dunia sekolah yang baru ini. Oh ya, Tuhan itu ternyata benar bekerja dan doa saya rupanya benar dijawab. Ketika S-1 dulu, saya sering sekali bercerita dengan teman sebangku saya (Fary) bahwa rasanya saya ingin pindah ke psikologi saja. Namun, ternyata Tuhan benar mengabulkannya dalam versi yang lebih baik.

  
 
Sampai bertemu tahun depan ya, Sekolah Baru-ku.
 


Friday, 3 December 2021

Pendakian Pertama




Beberapa waktu lalu, salah satu keinginan yang sejak lama direncanakan akhirnya bisa terlaksana: Naik gunung!

Dari dulu selalu amazed aja sih sama mereka yang sudah pernah naik gunung seperti Faiz dan Anindito, kawan-kawan saya. Sayangnya, selama sekolah, waktu yang tersedia teramat singkat. Selain itu, seperti biasa, bepergian sendirian adalah salah satu hal yang saya suka. Namun, karena naik gunung adalah hal awam yang lumayan bikin saya ngeri, akhirnya pilihan yang diambil adalah sebatas Gunung Andong di Magelang.

Mungkin buat beberapa orang, pengalaman ini tidak sehebat naik ke gunung-gunung yang lebih tinggi dan ternama, tapi buat saya yang sudah mulai renta ini, hal ini sangat menyenangkan kok.

Saya berangkat menuju Magelang terlebih dahulu menaiki bus. Kalau tidak salah, ongkosnya 10 ribu. Setelah sampai di terminal Magelang, saya harus lanjut lagi dengan bus ke arah Salatiga. Lalu bilang ke mas-mas di bus untuk turunkan di dekat Andong. Kemudian naik ojek sebentar, baru deh tiba di kawasan pendakiannya.

Di terminal Tidar

Kesan awalnya adalah gunung ini memang untuk pemula, jadi cocok lah buat saya. Tadinya mau coba buat nginep langsung, tapi saya urungkan karena masih takut dan kerjaan tesis masih harus dikejar hehe. 

Meskipun awalnya saya kira bakal jadi perjalanan yang biasa saja, ternyata naik gunung ini bikin napas saya serasa hampir habis. Betul-betul definisi kehabisan napas. Alhasil, baru sebentar saya udah istirahat dulu untuk makan mie instan dan minum aqua. Nampaknya asma dan kerentaan benar-benar signifikan dampaknya.

Lalu akhirnya meyakinkan diri naik lagi perlahan-lahan. Saya baru tahu, kalau naik gunung itu banyak yang kasih semangat ya. Tiap saya papasan sama orang yang turun, mereka selalu bilang “Ayok, semangat, Mas!” sambil melihat saya yang sering banget berhenti istirahat dulu.

Jalan pendakian


Vegetasi pinus

Salah satu yang bikin menyenangkan adalah ketika makin tinggi, tubuh kita mulai dikelilingi kabut. Ini buatku senang sekali karena saya belum pernah berada setinggi ini dan diselimuti sama kabut.




Akhirnya tiba juga deh puncak. Kondisinya sedang - tidak terlalu ramai, tetapi nggak sepi juga. Di atas saya ngobrol dengan beberapa orang yang sedang mendaki. Ada yang dengan pacarnya, ada segerombolan anak muda juga, dan ada yang sepertinya anak mapala sedang bermalam disana. Semuanya mengeluarkan reaksi heran yang sama sih ketika tau saya naik gunung sendirian. Padahal saya kira itu hal biasa.

Kalau naik gunung butuh kekuatan otot, turun gunung yang tadinya saya kira mudah, ternyata butuh konsentrasi banget. Melangkah turun ternyata harus hati-hati kalau tidak mau terperosok ke jurang. Saya jatuh dua kali selama proses turun gunung. Selama turun gunung, saya ikut sok kasih semangat yang sedang naik hahaha.

Di puncak gunung


Tiba juga di tempat makan mie awal dan tempat merenung “jadi naik nggak ya”



Ketika akhirnya jalan akhir mulai terlihat, saya lega sih. Ah, akhirnya selesai juga. Pernah juga akhirnya selama hidup merasakan naik gunung. Seperti setelah ini, hidup akan diisi sekolah, bekerja, dan berkeluarga sehingga tidak sempat lagi menaiki gunung yang lebig serius.

Kemudian saya pulang ke Jogja, ketemuan sama pacar di sore hari, lalu lanjut mengerjakan tesis di jakal. Besoknya, baru deh terasa badan nyeri-nyeri.

Demikian catatan saya selama naik gunung ini.  👋🏻

Salam dari cowok ber-sweater kuning di atas gunung!

Hasil yang Merelakan Usaha.

Jadi dokter itu berusaha. Berusaha berpikir harus melakukan apa biar pasien sembuh, harus belajar agar tidak ada hal penting yang terlupakan...