Saturday, 26 October 2019

Surabaya (kedua kalinya)

Halo!

Saya tuh sesungguhnya orang yang tidak begitu banyak bepergian, baik dalam negeri apalagi luar negeri. Namun, saya jadinya sangat ingat perasaan saat mengunjungi tempat-tempat yang dikunjungi. Ah, the perks of being a sentimental person. 

Saya sangat suka Surabaya. Dulu pernah ke Surabaya tahun 2009. Orang bilang kota kedua terbesar di Indonesia ini amat panas, tapi saat saya kesana dulu, cuacanya mendung tapi tak hujan, jadi nggak bisa merasakan apa yang disebut panasnya Surabaya. 

Tahun 2009 itu, saya kemari sebagai perwakilan dari Sumatera Selatan ke suatu acara. Kami diperlakukan sangat baik dan ramah. Saya menginap dengan perwakilan dari Yogyakarta, yang juga sangat baik. Kita diajak makan bebek sinjai langsung di Madura dan melewati lokasi lumpur Sidoarjo serta jembatan Suramadu. Kemudian saya makan malam di hotel yang bagus banget dengan nuansa keemasan dan cuaca yang dingin banget, sayang lupa namanya. Surabaya juga jadi tempat pertama saya menginjakkan kaki ke klub malam juga yang bernama blowfish. Saya sudah lupa rincian kegiatannya, tetapi masih bisa mengingat perasaan senangnya. 

10 tahun lalu sama perwakilan dari Jakarta, Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan para tuan rumah. Ada Sekar Sari yang udah main film-film festival yang bagus dan Selvi menantunya Bapak Presiden. 


Saya selalu ingin bermain ke Surabaya lagi. Nah, akhirnya setelah 10 tahun berjarak, saya akhirnya punya waktu kemari. Kegiatannya nggak begitu padat dan hanya berlangsung sejenak. Saya menghabiskan tidur sambil menikmati Surabaya malam hari melalui jendela, ke wilayah bebas kendaraan bermotor pada Minggu pagi, naik bus wisata keliling kota, makan hidangan khas sini (rujak cingur ternyata disini enak!), dan tentu saja berjalan kaki di sore hari menyusuri kota. Bedanya, kali ini saya baru meraskan: Benar, Surabaya panas banget!


Beberapa menit sebelum menaiki bus wisata Surabaya

Kadang orang menanyakan lebih suka gunung atau pantai? Hmm, sesunguhnya yang saya suka adalah kota-kota seperti ini. Melihat hiruk pikuk, jalan kaki di sekitar kota, bahkan naik transportasi umumnya, adalah liburan yang paling saya suka. 

Satu jam jalan kaki di WBK Surabaya

Surabaya kali ini tidak semenyenangkan saat 10 tahun lalu dimana saya dikelilingi berbagai orang-orang baru yang sangat seru dan menyenangkan. Namun, ya namanya juga udah gede ya hehe jadi wajar kalau beberapa hal berubah. Saya pun makin kesini kan makin suka kesendirian. Hmm, intinya sih, Surabaya kali ini tetap menyenangkan, hanya saja dengan definisi yang berbeda. Kalau dulu senang dalam keseruan, yang sekarang tenang dalam kesenyapan. Dua tipe kunjungan yang sama-sama membahagiakan.


Tidur damai melihat kota malam hari
(Selalu suka pemandangan seperti ini)

Di balik panasnya kota ini, Saya suka Surabaya. 
Sampai jumpa lagi!

Kenapa kita tidak menulis lagi?

Kira-kira kenapa ya?

Dulu saya menghabiskan masa remaja dan dewasa awal dengan membaca blog beberapa orang. Saya tidak mengenal orang-orang tersebut secara langsung, tetapi jadi seolah kenal mereka karena membaca cerita yang mereka tuliskan. Sedikit orang tersebut bahkan pada akhirnya saya kenal secara langsung beberapa tahun kemudian - meskipun saya malu untuk mengatakan bahwa, "Hei, saya sudah tau tentang Anda, lho!"

Beberapa dari cerita mereka hanya berkisar tentang keseharian, tetapi beberapa diantaranya merupakan pencapaian penting atau pola pikir mereka yang menarik. Sederhana atau serius, cerita-cerita itu sedikit banyak membentuk saya.

Namun, makin lama, tulisan-tulisan orang tersebut makin jarang dan lama kelamaan berhenti. Ada yang bahkan sudah berhenti lebih dari satu dekade lalu. Rasanya lumayan sedih mengetahui tidak ada cerita baru lagi meskipun beberapa kali kita mengunjungi laman blog mereka. Seperti film yang sudah selesai, tapi lebih sedihnya, cerita-cerita mereka sungguh menggantung. Saya jadi tidak tau bagaimana kabar mereka sekarang. Instagram jelas ada, tetapi rasanya tulisan di blog sepertinya lebih jujur.

Hmm. Ternyata tidak hanya mereka yang tulisannya makin jarang muncul.
Saya pun ternyata hampir tidak pernah lagi menulis di laman blog ini.
Kenapa ya kira-kira?

Apakah karena sudah dewasa dan tulisan seperti ini bukan menjadi platform lagi?
Atau sudah dewasa dan merasa ini so cringe?
Mungkin karena kesibukan semata dan sudah menjadi dewasa?
Atau karena semua sudah berpindah ke versi yang lebih singkat dan mudah seperti instagram?

Saya juga kurang paham pastinya kenapa. Untuk saya pribadi, mungkin alasan utamanya adalah kesibukan. Tapi nih ya, salah satu hal yang makin lama makin menakutkan saya adalah...
saya mulai pelupa.

Saya mulai melupakan orang-orang di sepuluh tahun lalu.
Saya mulai melupakan apa saja kejadian di lima tahun lalu.
Bahkan, saya mulai melupakan kejadian-kejadian di beberapa tahun belakangan.
Dan tentu saja, makin lama memori itu akan makin pudar.

Salah satu buku yang paling saya suka, yakni The Perks of Being a Wallflower, bercerita tentang memoar keseharian si tokoh ketika SMA. Wah, saya suka banget buku itu. Namun, selain jalan ceritanya, saya juga suka bagaimana ia menuliskan cerita-cerita yang terjadi pada tiga tahun kehidupannya di sekolah itu. 

Salah satu kutipan singkatnya tertulis seperti ini: "Suatu hari mungkin kita akan lupa kisah ini, suatu hari kita akan jadi ayah dan ibu dari anak-anak kita. Kita akan lupa bagaimana rasanya menjadi 17 tahun ketika kita sudah 18 tahun. I know these will all be stories one day, but right now we are alive, and in this moment: I swear we are infinite".

Dan iya. menuliskan cerita yang ia lalui adalah cara dia untuk mengabadikan cerita-ceritanya. Saya rasa, saya juga ingin membuat cerita saya terekam. Sebelum makin lama makin kabur ingatan-ingatan ini, lalu  lupa hidupku ini sudah diisi kejadian apa-apa saja ya? Dan yang paling penting: apa yang saya rasakan saat itu.

Jadi, nulis lagi, nggak?

Hasil yang Merelakan Usaha.

Jadi dokter itu berusaha. Berusaha berpikir harus melakukan apa biar pasien sembuh, harus belajar agar tidak ada hal penting yang terlupakan...