Saturday 26 October 2019

Kenapa kita tidak menulis lagi?

Kira-kira kenapa ya?

Dulu saya menghabiskan masa remaja dan dewasa awal dengan membaca blog beberapa orang. Saya tidak mengenal orang-orang tersebut secara langsung, tetapi jadi seolah kenal mereka karena membaca cerita yang mereka tuliskan. Sedikit orang tersebut bahkan pada akhirnya saya kenal secara langsung beberapa tahun kemudian - meskipun saya malu untuk mengatakan bahwa, "Hei, saya sudah tau tentang Anda, lho!"

Beberapa dari cerita mereka hanya berkisar tentang keseharian, tetapi beberapa diantaranya merupakan pencapaian penting atau pola pikir mereka yang menarik. Sederhana atau serius, cerita-cerita itu sedikit banyak membentuk saya.

Namun, makin lama, tulisan-tulisan orang tersebut makin jarang dan lama kelamaan berhenti. Ada yang bahkan sudah berhenti lebih dari satu dekade lalu. Rasanya lumayan sedih mengetahui tidak ada cerita baru lagi meskipun beberapa kali kita mengunjungi laman blog mereka. Seperti film yang sudah selesai, tapi lebih sedihnya, cerita-cerita mereka sungguh menggantung. Saya jadi tidak tau bagaimana kabar mereka sekarang. Instagram jelas ada, tetapi rasanya tulisan di blog sepertinya lebih jujur.

Hmm. Ternyata tidak hanya mereka yang tulisannya makin jarang muncul.
Saya pun ternyata hampir tidak pernah lagi menulis di laman blog ini.
Kenapa ya kira-kira?

Apakah karena sudah dewasa dan tulisan seperti ini bukan menjadi platform lagi?
Atau sudah dewasa dan merasa ini so cringe?
Mungkin karena kesibukan semata dan sudah menjadi dewasa?
Atau karena semua sudah berpindah ke versi yang lebih singkat dan mudah seperti instagram?

Saya juga kurang paham pastinya kenapa. Untuk saya pribadi, mungkin alasan utamanya adalah kesibukan. Tapi nih ya, salah satu hal yang makin lama makin menakutkan saya adalah...
saya mulai pelupa.

Saya mulai melupakan orang-orang di sepuluh tahun lalu.
Saya mulai melupakan apa saja kejadian di lima tahun lalu.
Bahkan, saya mulai melupakan kejadian-kejadian di beberapa tahun belakangan.
Dan tentu saja, makin lama memori itu akan makin pudar.

Salah satu buku yang paling saya suka, yakni The Perks of Being a Wallflower, bercerita tentang memoar keseharian si tokoh ketika SMA. Wah, saya suka banget buku itu. Namun, selain jalan ceritanya, saya juga suka bagaimana ia menuliskan cerita-cerita yang terjadi pada tiga tahun kehidupannya di sekolah itu. 

Salah satu kutipan singkatnya tertulis seperti ini: "Suatu hari mungkin kita akan lupa kisah ini, suatu hari kita akan jadi ayah dan ibu dari anak-anak kita. Kita akan lupa bagaimana rasanya menjadi 17 tahun ketika kita sudah 18 tahun. I know these will all be stories one day, but right now we are alive, and in this moment: I swear we are infinite".

Dan iya. menuliskan cerita yang ia lalui adalah cara dia untuk mengabadikan cerita-ceritanya. Saya rasa, saya juga ingin membuat cerita saya terekam. Sebelum makin lama makin kabur ingatan-ingatan ini, lalu  lupa hidupku ini sudah diisi kejadian apa-apa saja ya? Dan yang paling penting: apa yang saya rasakan saat itu.

Jadi, nulis lagi, nggak?

No comments:

Post a Comment

Hasil yang Merelakan Usaha.

Jadi dokter itu berusaha. Berusaha berpikir harus melakukan apa biar pasien sembuh, harus belajar agar tidak ada hal penting yang terlupakan...