Thursday, 30 December 2021

Hasil yang Merelakan Usaha.

Jadi dokter itu berusaha. Berusaha berpikir harus melakukan apa biar pasien sembuh, harus belajar agar tidak ada hal penting yang terlupakan, dan bekerja untuk tetap tenang di tengah anak yang menangis dan orang tua yang coba menenangkan meski dalam hati menangis.

Ketika bekerja di instalasi kanker anak, ada satu pasien yang kondisinya kurang baik. Saya menghabiskan waktu lebih untuk pasien dan keluarganya itu karena selain kondisi si anak yang lebih rumit, saya juga harus memberi kekuatan dan pengharapan yang tepat untuk orang tua. Pasien tersebut masih berada di instalasi kanker tersebut hingga akhirnya saya harus berpindah tugas ke bagian lain.

Satu bulan kemudian, saya bertemu kembali dengan ibu dari si pasien dan mencari saya. Ternyata ibu tersebut datang ke rumah sakit hanya untuk mengabari saya bahwa anaknya telah meninggal dunia karena kondisi kankernya yang tidak bisa disembuhkan. Ia datang bersama si adik dari almarhum yang ingin dikenalkan kepada saya.

Jujur saya sedikit menangis ketika bertemu mereka. Saya bersedih atas kepergian si anak dan saya juga terharu bahwa meskipun si anak tidak berhasil melawan kankernya dengan semua protokol kemoterapi yang telah kami usahakan bersama, ternyata si ibu masih datang untuk mengabari dan mengucap terima kasih.

Dari titik itu, saya mengetahui bahwa pasien dan orang tua bisa merasakan bahwa "yes, we're trying our best", meskipun hasilnya jauh dari usaha.

Halo, adik kecil, terima kasih telah berjuang bersama.

Friday, 24 December 2021

Sekolah (Lagi)

Halo, Sekolah!

Ujian Simak UI dan nomor peserta ujian.


Wah, sebagian besar hidup saya dihabiskan dengan sekolah. Dulu ketika selesai pendidikan dokter selama 5 tahun dan berada pada fase internship, saya sudah was-was banget ingin segera lanjut ppds (pendidikan dokter spesialis). Lalu setelah selesai ppds dan bekerja selama 1 tahun terakhis, saya juga sudah was-was banget (lagi) untuk lanjut sekolah lagi. 

Namun, salah satu kegiatan ketika menjadi dewasa ternyata adalah kompromi untuk menyeimbangkan antara keinginan, kebutuhan, dan kesempatan. Kalau sebatas keinginan, wah, saya mungkin sudah menerima tawaran menjadi dosen di UGM sesuai cita-cita awal dan barangkali sedang melanjutkan PhD di University of Melbourne. Kalau sebatas kebutuhan, mungkin saya hanya bekerja saja mati-matian sebagai wakil dari generasi sandwich untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga.

Akhirnya saya menimbang-nimbang kira-kira jalan manakah yang harus saya ambil untuk bisa mendapatkan titik tengah antara ketiga hal tadi (keinginan, kebutuhan, dan kesempatan). Akhirnya setelah menelaah antara mengambil strata 3 atau magister gizi atau magister psikologi, pilihan saya jatuh ke magister psikologi terapan anak usia dini di Universitas Indonesia.

Awalnya, saya masih maju mundur untuk mencobanya, tetapi wow, suatu cuitan di twitter langsung membuat saya yakin, oke lah, kita ambil saja! Cuitan tersebut adalah:

You're scared to spend 2 years learning a new skill at 28,
because by the time you're done, you'll be 30.
Well --- Whether you learn the skill or not, you'll still be 30 in two years

- Lewis Morgan

Dan iya juga, mau ngambil subspesialis juga belum bisa karena harus ada minimal masa kerja. Maka yasudah, baiknya waktu ini jangan disia-siakan.

+++

Akhirnya saya mendaftar dan membayar biayanya pada 5 November 2021. Lalu timbul masalah dan huru-hara baru, yakni ujian simak UI dilakukan pada 14 November 2021 alias 9 hari lagi! Wah, akhirnya berbekal kenekatan, saya buru-buru beli buku latihan soal dan belajar setiap hari.

Daftar di 5 November; ujiannya ternyata 9 hari lagi.

Salah satu tantangan lainnya adalah istri saya sedang berada di Yogyakarta untuk menyelesaikan tesisnya. Jadi, rutinitas saya kala itu lumayan sibuk dengan waktu tidur yang kurang. Pagi sampai sore kerja, lalu mengurus anak, dan setelah menidurkan anak, baru lah saya belajar. Syukurlah ketika ujian tiba, istri saya sudah berada di Jakarta sehingga saya bisa menjalani ujian masuk tanpa khawatir menemani anak. 

Situasi belajar sambil memantau Saskara yang sedang tidur.
(Pardon my bad-looking tight)
  





 +++

Ketika tiba saat pengumuman, kalau tidak salah itu hari Jumat, dan saya sedang berada di perjalanan pulang. Pengumumannya pukul 13.00, jadi setelah salat dan jajan sejenak di gading, saya me-refresh terus-menerus lamannya, padahal belum jam 13.00. Saya kira siapa tahu akan muncul lebih awal.

Ketika tepat pukul 13.00 WIB, saya berada di gocar dan saya senang sekali mengetahui bahwa saya lulus diterima menjadi mahasiswa Universitas Indonesia. Setelah senang, saya jadi deg-degan lagi tentang dunia sekolah yang baru ini. Oh ya, Tuhan itu ternyata benar bekerja dan doa saya rupanya benar dijawab. Ketika S-1 dulu, saya sering sekali bercerita dengan teman sebangku saya (Fary) bahwa rasanya saya ingin pindah ke psikologi saja. Namun, ternyata Tuhan benar mengabulkannya dalam versi yang lebih baik.

  
 
Sampai bertemu tahun depan ya, Sekolah Baru-ku.
 


Friday, 3 December 2021

Pendakian Pertama




Beberapa waktu lalu, salah satu keinginan yang sejak lama direncanakan akhirnya bisa terlaksana: Naik gunung!

Dari dulu selalu amazed aja sih sama mereka yang sudah pernah naik gunung seperti Faiz dan Anindito, kawan-kawan saya. Sayangnya, selama sekolah, waktu yang tersedia teramat singkat. Selain itu, seperti biasa, bepergian sendirian adalah salah satu hal yang saya suka. Namun, karena naik gunung adalah hal awam yang lumayan bikin saya ngeri, akhirnya pilihan yang diambil adalah sebatas Gunung Andong di Magelang.

Mungkin buat beberapa orang, pengalaman ini tidak sehebat naik ke gunung-gunung yang lebih tinggi dan ternama, tapi buat saya yang sudah mulai renta ini, hal ini sangat menyenangkan kok.

Saya berangkat menuju Magelang terlebih dahulu menaiki bus. Kalau tidak salah, ongkosnya 10 ribu. Setelah sampai di terminal Magelang, saya harus lanjut lagi dengan bus ke arah Salatiga. Lalu bilang ke mas-mas di bus untuk turunkan di dekat Andong. Kemudian naik ojek sebentar, baru deh tiba di kawasan pendakiannya.

Di terminal Tidar

Kesan awalnya adalah gunung ini memang untuk pemula, jadi cocok lah buat saya. Tadinya mau coba buat nginep langsung, tapi saya urungkan karena masih takut dan kerjaan tesis masih harus dikejar hehe. 

Meskipun awalnya saya kira bakal jadi perjalanan yang biasa saja, ternyata naik gunung ini bikin napas saya serasa hampir habis. Betul-betul definisi kehabisan napas. Alhasil, baru sebentar saya udah istirahat dulu untuk makan mie instan dan minum aqua. Nampaknya asma dan kerentaan benar-benar signifikan dampaknya.

Lalu akhirnya meyakinkan diri naik lagi perlahan-lahan. Saya baru tahu, kalau naik gunung itu banyak yang kasih semangat ya. Tiap saya papasan sama orang yang turun, mereka selalu bilang “Ayok, semangat, Mas!” sambil melihat saya yang sering banget berhenti istirahat dulu.

Jalan pendakian


Vegetasi pinus

Salah satu yang bikin menyenangkan adalah ketika makin tinggi, tubuh kita mulai dikelilingi kabut. Ini buatku senang sekali karena saya belum pernah berada setinggi ini dan diselimuti sama kabut.




Akhirnya tiba juga deh puncak. Kondisinya sedang - tidak terlalu ramai, tetapi nggak sepi juga. Di atas saya ngobrol dengan beberapa orang yang sedang mendaki. Ada yang dengan pacarnya, ada segerombolan anak muda juga, dan ada yang sepertinya anak mapala sedang bermalam disana. Semuanya mengeluarkan reaksi heran yang sama sih ketika tau saya naik gunung sendirian. Padahal saya kira itu hal biasa.

Kalau naik gunung butuh kekuatan otot, turun gunung yang tadinya saya kira mudah, ternyata butuh konsentrasi banget. Melangkah turun ternyata harus hati-hati kalau tidak mau terperosok ke jurang. Saya jatuh dua kali selama proses turun gunung. Selama turun gunung, saya ikut sok kasih semangat yang sedang naik hahaha.

Di puncak gunung


Tiba juga di tempat makan mie awal dan tempat merenung “jadi naik nggak ya”



Ketika akhirnya jalan akhir mulai terlihat, saya lega sih. Ah, akhirnya selesai juga. Pernah juga akhirnya selama hidup merasakan naik gunung. Seperti setelah ini, hidup akan diisi sekolah, bekerja, dan berkeluarga sehingga tidak sempat lagi menaiki gunung yang lebig serius.

Kemudian saya pulang ke Jogja, ketemuan sama pacar di sore hari, lalu lanjut mengerjakan tesis di jakal. Besoknya, baru deh terasa badan nyeri-nyeri.

Demikian catatan saya selama naik gunung ini.  👋🏻

Salam dari cowok ber-sweater kuning di atas gunung!

Friday, 20 November 2020

Menanti Bayi S

Sore itu adalah 25 April ketika saya akhirnya tiba di apartemen setelah satu jam perjalanan pulang setelah merayakan kelulusan dari Yogyakarta menuju Jakarta. Langitnya luar biasa mendung diikuti hujan yang akhirnya turun. Wah, menyelesaikan studi master dan spesialis rasanya menyenangkan sekali meski tiada wisuda akibat pandemi. Saya pulang sambil senyum-senyum sendiri menenteng ijazah yang akhirnya menjadi tiket saya untuk kembali ke dunia kerja. 

Namun, rupanya kejutan lebih besar sedang menanti di rumah.

Setelah tiba di apartemen, saya mandi dan menghabiskan waktu sore yang tenang dengan istri di ruang tamu. Istri saya, dengan ekspresi wajah yang jatuh di antara titik keraguan dan kegembiraan, bilang: "Sepertinya aku hamil deh".



Lalu tiba-tiba situasi hening. Betulan hening. Saat itu adalah bulan ke-empat pernikahan dan kami berdua memang sudah menanti saat ini dengan teramat sangat. Namun, yang keluar malah bukan kata-kata mengucap syukur, tapi malah keragu-raguan tentang "Masa sih?" dan "Beneran ini ya? Bukan positif palsu aja nih?".

Beberapa hari setelahnya, kami berdua masih memiliki rasa was-was luar biasa tentang kebenaran kabar ini. Fiona dan saya mau merayakannya setelah kami 100% yakin bahwa hal ini benar-benar nyata.

Akhirnya, kami membeli lusinan test pack untuk mengecek dan melihat garis merah di stik-stik tersebut. Bahkan nih ya, saya juga menyelupkan pipis saya di stik tersebut untuk meyakinkan kalau pipis normal tidak membuat garis merah timbul. Akhirnya setelah dua minggu penuh keraguan, kami akhirnya yakin: Iya, istri saya hamil dan kami menanti bayi kami! 

***

Ketika sedang menulis tulisan ini, bayi kami berusia 33 minggu usia kehamilan. Taksiran lahirnya adalah penghujung Desember. Wah, menanti-nanti jadi seorang ayah ternyata rasanya cukup rumit. Setiap hari dipenuhi kebimbangan, kecemasan, dan kesenangan di satu waktu, terutama tentang kesehatan istri dan anak saya. Dalam kurang dari 2 bulan, saya akhirnya akan bertemu anak pertama saya. Saya sering berdoa, tapi rasanya ini doa yang paling sungguh-sungguh yang pernah saya pintakan selama hidup ini.

Halo, bayi S. Sehat-sehat ya hingga cukup bulan nanti.
Dan tentu selamanya...



Love you,

Bapak.

Saturday, 26 October 2019

Surabaya (kedua kalinya)

Halo!

Saya tuh sesungguhnya orang yang tidak begitu banyak bepergian, baik dalam negeri apalagi luar negeri. Namun, saya jadinya sangat ingat perasaan saat mengunjungi tempat-tempat yang dikunjungi. Ah, the perks of being a sentimental person. 

Saya sangat suka Surabaya. Dulu pernah ke Surabaya tahun 2009. Orang bilang kota kedua terbesar di Indonesia ini amat panas, tapi saat saya kesana dulu, cuacanya mendung tapi tak hujan, jadi nggak bisa merasakan apa yang disebut panasnya Surabaya. 

Tahun 2009 itu, saya kemari sebagai perwakilan dari Sumatera Selatan ke suatu acara. Kami diperlakukan sangat baik dan ramah. Saya menginap dengan perwakilan dari Yogyakarta, yang juga sangat baik. Kita diajak makan bebek sinjai langsung di Madura dan melewati lokasi lumpur Sidoarjo serta jembatan Suramadu. Kemudian saya makan malam di hotel yang bagus banget dengan nuansa keemasan dan cuaca yang dingin banget, sayang lupa namanya. Surabaya juga jadi tempat pertama saya menginjakkan kaki ke klub malam juga yang bernama blowfish. Saya sudah lupa rincian kegiatannya, tetapi masih bisa mengingat perasaan senangnya. 

10 tahun lalu sama perwakilan dari Jakarta, Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan para tuan rumah. Ada Sekar Sari yang udah main film-film festival yang bagus dan Selvi menantunya Bapak Presiden. 


Saya selalu ingin bermain ke Surabaya lagi. Nah, akhirnya setelah 10 tahun berjarak, saya akhirnya punya waktu kemari. Kegiatannya nggak begitu padat dan hanya berlangsung sejenak. Saya menghabiskan tidur sambil menikmati Surabaya malam hari melalui jendela, ke wilayah bebas kendaraan bermotor pada Minggu pagi, naik bus wisata keliling kota, makan hidangan khas sini (rujak cingur ternyata disini enak!), dan tentu saja berjalan kaki di sore hari menyusuri kota. Bedanya, kali ini saya baru meraskan: Benar, Surabaya panas banget!


Beberapa menit sebelum menaiki bus wisata Surabaya

Kadang orang menanyakan lebih suka gunung atau pantai? Hmm, sesunguhnya yang saya suka adalah kota-kota seperti ini. Melihat hiruk pikuk, jalan kaki di sekitar kota, bahkan naik transportasi umumnya, adalah liburan yang paling saya suka. 

Satu jam jalan kaki di WBK Surabaya

Surabaya kali ini tidak semenyenangkan saat 10 tahun lalu dimana saya dikelilingi berbagai orang-orang baru yang sangat seru dan menyenangkan. Namun, ya namanya juga udah gede ya hehe jadi wajar kalau beberapa hal berubah. Saya pun makin kesini kan makin suka kesendirian. Hmm, intinya sih, Surabaya kali ini tetap menyenangkan, hanya saja dengan definisi yang berbeda. Kalau dulu senang dalam keseruan, yang sekarang tenang dalam kesenyapan. Dua tipe kunjungan yang sama-sama membahagiakan.


Tidur damai melihat kota malam hari
(Selalu suka pemandangan seperti ini)

Di balik panasnya kota ini, Saya suka Surabaya. 
Sampai jumpa lagi!

Kenapa kita tidak menulis lagi?

Kira-kira kenapa ya?

Dulu saya menghabiskan masa remaja dan dewasa awal dengan membaca blog beberapa orang. Saya tidak mengenal orang-orang tersebut secara langsung, tetapi jadi seolah kenal mereka karena membaca cerita yang mereka tuliskan. Sedikit orang tersebut bahkan pada akhirnya saya kenal secara langsung beberapa tahun kemudian - meskipun saya malu untuk mengatakan bahwa, "Hei, saya sudah tau tentang Anda, lho!"

Beberapa dari cerita mereka hanya berkisar tentang keseharian, tetapi beberapa diantaranya merupakan pencapaian penting atau pola pikir mereka yang menarik. Sederhana atau serius, cerita-cerita itu sedikit banyak membentuk saya.

Namun, makin lama, tulisan-tulisan orang tersebut makin jarang dan lama kelamaan berhenti. Ada yang bahkan sudah berhenti lebih dari satu dekade lalu. Rasanya lumayan sedih mengetahui tidak ada cerita baru lagi meskipun beberapa kali kita mengunjungi laman blog mereka. Seperti film yang sudah selesai, tapi lebih sedihnya, cerita-cerita mereka sungguh menggantung. Saya jadi tidak tau bagaimana kabar mereka sekarang. Instagram jelas ada, tetapi rasanya tulisan di blog sepertinya lebih jujur.

Hmm. Ternyata tidak hanya mereka yang tulisannya makin jarang muncul.
Saya pun ternyata hampir tidak pernah lagi menulis di laman blog ini.
Kenapa ya kira-kira?

Apakah karena sudah dewasa dan tulisan seperti ini bukan menjadi platform lagi?
Atau sudah dewasa dan merasa ini so cringe?
Mungkin karena kesibukan semata dan sudah menjadi dewasa?
Atau karena semua sudah berpindah ke versi yang lebih singkat dan mudah seperti instagram?

Saya juga kurang paham pastinya kenapa. Untuk saya pribadi, mungkin alasan utamanya adalah kesibukan. Tapi nih ya, salah satu hal yang makin lama makin menakutkan saya adalah...
saya mulai pelupa.

Saya mulai melupakan orang-orang di sepuluh tahun lalu.
Saya mulai melupakan apa saja kejadian di lima tahun lalu.
Bahkan, saya mulai melupakan kejadian-kejadian di beberapa tahun belakangan.
Dan tentu saja, makin lama memori itu akan makin pudar.

Salah satu buku yang paling saya suka, yakni The Perks of Being a Wallflower, bercerita tentang memoar keseharian si tokoh ketika SMA. Wah, saya suka banget buku itu. Namun, selain jalan ceritanya, saya juga suka bagaimana ia menuliskan cerita-cerita yang terjadi pada tiga tahun kehidupannya di sekolah itu. 

Salah satu kutipan singkatnya tertulis seperti ini: "Suatu hari mungkin kita akan lupa kisah ini, suatu hari kita akan jadi ayah dan ibu dari anak-anak kita. Kita akan lupa bagaimana rasanya menjadi 17 tahun ketika kita sudah 18 tahun. I know these will all be stories one day, but right now we are alive, and in this moment: I swear we are infinite".

Dan iya. menuliskan cerita yang ia lalui adalah cara dia untuk mengabadikan cerita-ceritanya. Saya rasa, saya juga ingin membuat cerita saya terekam. Sebelum makin lama makin kabur ingatan-ingatan ini, lalu  lupa hidupku ini sudah diisi kejadian apa-apa saja ya? Dan yang paling penting: apa yang saya rasakan saat itu.

Jadi, nulis lagi, nggak?

Tuesday, 17 September 2019

Pengalaman Perdana Maju Presentasi Ilmiah

Kehidupan residensi selama dua bulan di Parindu adalah surga! Setiap hari berangkat jam delapan dan jam 3 sore sudah bisa pulang. Banyak banget waktu luang yang didapatkan selama dua bulan tersebut. Jadinya, oke lah, gue harus pulang dengan sesuatu selain kegembiraan bisa rebahan tidur siang dan nonton film sepuasnya. Nah, salah satu hal yang gue bawa pulang dari Parindu adalah penelitian. Yoa, gue akhirnya bisa melakukan penelitian pertama gue disana.

Jadi, sejak dulu gue selalu ingin sekali bisa melakukan penelitian lalu ikut presentasi poster ilmiah. Namun, dari dulu gue belum paham harus ngapain, bagaimana melakukannya, dan nggak ada juga yang membimbing. Alhasil saat tes masuk sekolah residensi dulu, gue selalu waswas karena nggak punya tuh publikasi satu pun. Padahal lihat orang yang tes kanan kiri dulu, mereka ada pengalaman publikasi atau maju presentasi ilmiah.

Awalnya bingung mau meneliti apa disini. Akhirnya selama seminggu pertama disana, selesai poliklinik gue rutin browsing tentang ide-ide yang bisa diterapkan dan "Yoi!", kayanya penelitian tentang nutrisi sangat bisa dilakukan. Kebetulan pula, ternyata masalah nutrisi di Kalimantan Barat lumayan banyak, sedangkan jumlah ahli gizi sangat terbatas. Pada akhirnya, selesai bertugas dari sana, gue bisa menyelesaikan pengambilan data dari tiga topik penelitian: skrining malnutrisi di fasilitas terbatas, persepsi ibu tentang status gizi anaknya, dan tentang anemia defisiensi besi. 

***


Hasil penelitian yang gue lakukan akhirnya gue submit ke salah satu pertemuan ilmiah nasional bernama 3rd Nutrition and Metabolic Update di Solo. Pas ketauan diterima, rasanya seneng banget (padahal semua abstrak kayanya diterima kok, tapi namanya pengalaman pertama, jadi seneng banget!). 
Berangkat!



Gue sekalian mengajak Ayahku karena udah lama banget Beliau gak pernah jalan-jalan ke luar kota. Yah, meski cuman ke Solo, semoga sih Ayahku cukup menikmati perjalanannya. Gue berangkat naik kereta bersama Ayah. Teman-temanku: Melda, Anindian, dan Yulia, juga ikut untuk presentasi poster kali ini. 

Beberapa dari teman-teman seangkatan

Senam pagi di CFD Solo

Sesampainya di Solo, gue kerjannya mual-mual aja karena gugup. Beberapa jam gue habiskan di kamar mandi sambil latihan presentasi di kaca. Rasanya gugup banget karena belum pernah ikut hal ini sebelumnya, tapi di satu sisi juga mau bisa menang (proud opportunist; prize hunter).

Siap-siap
Senang

Senang



Pengumuman makalah terbaik

Akhirnya semua berjalanan menyenangkan. Jantung berdegup kencang, tapi seneng saat pengumuman dibacakan. Dari awal selalu ragu apakah gue bisa membuat penelitian semacam ini. Eh, rupanya ya bisa-bisa aja meski jalannya berliku dan hilang arah kemana-mana. Namun, seperti yang Charlie Lim bilang di lagunya We are Singapore: "How easy we forget, that everything takes time". Ya emang awalnya harus sabar dulu. 



[tulisannya kok kacau banget ya, tapi yaudahlah kapan-kapan diperbaiki lagi :D]

Sunday, 7 April 2019

Religion is a Tool

source here

What is the intention of Alfred Bernhard Nobel when he created dynamite? It was a result of research to search for new methods of blasting rock to make construction work easier. Well, such a noble tool for the sake of industrial importance. However, sadly to say, it ends up not as he expected it should be. In the mind and hands of human beings, this previously noble tool was also used to blow a human body, a house or even a whole city like Nagasaki.

I am fully aware that it was not an apple-to-apple comparison to the topic that I will be shared this time. I would like to propose a point that the fate of a tool relies on human beings themselves. What I would like to talk about is a very important tool that shaped our humanity.

In my opinion, religion is a tool. Moreover, it is a tool of life. I believe that God created religion as a tool for human beings to lead to a better life [and afterlife]. However, we also cannot deny that religion has been some reason to justify war and killing people, even until this present time. As a moslem, I also aware that killing innocent people while shouting the name of God was a fact. The proof was just a click away in Google search engine. 

Why could this happen? How come a religion -which supposed to be a good intention for life- leads to several worst nightmares humanity could ever imagined?

In my opinion, it relies on this reason: Yes, religion is a tool but not every human was good at using tools. Those who were bad at using it will end up performing the wrongdoings. Those who were misinterpreted it will be able to kill people in the name of God. That is why I believe that it would be very important to learn religion as a tool of life in a very cautious manner

That is also why in one of Islamic verses, one of the characteristics of faithful person is: Those who think ("Kaum yang berpikir"). 

I will never had the courage to say that religious scriptures were outdated, but somehow God has given us the privilege to think and to feel so we can adapt to religious verses without disobeying it. Religious scriptures such as Koran and Bible stated about how we should treat slaves; but guess what, we even able to vanish the practice of slavery itself by our declaration of human rights. We are also able to be ahead than verses about leprosy since we are now able to cure it. We can perform better than these scriptures told us.

I always believe in God and in religion, but we should also open our eyes that religion is also a reason for wars and killing others. It's in our hands that religion can be used as a tool to create a better world or the opposite. When scriptures become a reason to do bad things to others, maybe we should rethink about it, ask about it and comprehend about it. We should always do this not to question God's will, but because unlike animals or even angels, God made us to have the ability to think; and to realize that our interpretation and knowledge were so small compared to God. 

Once again,
Religion is a tool, be a human who uses this tool right.
It's in your hands.

Tuesday, 18 December 2018

18(5)



Dalam bukunya yang berjudul Muhammad: Lelaki Penggengam Hujan, Tasaro GK menulis definisi tentang cinta yang menurut gue lumayan tepat. Kutipannya seperti ini:

“...mencintai itu, kadang mengumpulkan segala tabiat menyebalkan dari seseorang yang engkau cintai, memakinya, merasa tak sanggup lagi menjadi yang terbaik untuk dirinya, dan berpikir tak ada lagi jalan kembali, tapi tetap saja engkau tak sanggup benar-benar meninggalkannya.”
Kalau dipikir ulang, yang namanya cinta ya demikian. Kalau hanya sekadar mencintai saat senang, bahagia, apalagi euforik, tidak perlu butuh cinta. Semua orang bisa menjalaninya. Namun, kalau saat sedih, depresi, atau distres, tidak semua orang mampu bertahan pada seseorang yang pernah dipilihnya.

Gue tau pacarku benar-benar cinta sama gue karena kami sudah melewati masa sedih, depresi, dan distres itu bersama-sama. Banyak waktu dimana dia telah menjadi mood boster-ku, tapi ada juga masa dimana dia jadi mood destroyer-ku, begitu juga sikap gue kepada dia.

Melewati semua ketidaksempurnaan kami berdua sebagai manusia, melewati beberapa umpatan, dan menerima beberapa sikap-sikap menjengkelkan kami masing-masing, gue rasa kami paham bahwa ini benar-benar cinta karena satu hal, yakni karena kami berdua masih sama-sama bertahan.

Masih mencoba untuk menyenangkan satu sama lain.
Masih mencoba menyemangati cita-cita masing-masing.
Sambil menerima kejengkelan yang pasti ada.
Karena sama seperti saat kita menerima suatu hal, kita tidak hanya menerima sisi baik dari hal tersebut, tapi juga sisi lemahnya. Apalagi dalam hal manusia.

Ketika gue bilang sayang sama dia,
maka gue berarti menerima hal-hal yang ada dalam dirinya.
Baik dan buruknya. Soalnya, pada akhirnya tetap saja engkau tak sanggup benar-benar meninggalkannya.

Makanya, kami tetap bertahan.
Sampai hari ini, di hari ulang tahunnya dan hari jadi kami yang kelima.
Semoga sampai esok, lusa, tulat, tubin, dan istilah untuk esoknya lagi.



Selamat ulang tahun.
Aku sayang kamu. 

Hasil yang Merelakan Usaha.

Jadi dokter itu berusaha. Berusaha berpikir harus melakukan apa biar pasien sembuh, harus belajar agar tidak ada hal penting yang terlupakan...