Thursday 22 January 2015

Gaji


Nasihat dari Ibunya Bagas:

"Nak, Pekerjaanmu yang sehari-hari itu jangan selalu kamu ukur imbalannya dengan gaji yang kau terima tiap bulan. Gajimu per bulan itu hanya imbalan dari atasan manusiamu. Masih banyak imbalan-imbalan lain yang kamu terima jika kamu memikirkan lebih dalam lagi.

Bila pekerjaanmu adalah membantu orang lain, walau sekecil apapun bentuknya. Rasa bahagia itulah imbalan untuk perasaan jiwamu. Bahwa kamu bisa punya harga diri karena telah menjadi manusia yang berguna itu juga imbalan. Bahkan, bisa jadi terselip doa-doa dari balik terima kasih yang mereka ucapkan padamu.

Itu hanya beberapa contoh dari imbalan-imbalan non-material lain yang kau terima dari pekerjaanmu. Jangan lupa juga bahwa pada pekerjaanmu yang membantu orang lain itu, juga ada imbalan tabungan yang dicatat di sisi Tuhan, yang sesungguhnya akan lebih berguna di kehidupan lanjutmu kelak. 

Karenanya dari sekarang, jangan lagi kau lihat imbalan pekerjaanmu sebatas gaji bulananmu yang bisa terhitung itu. Banyak di dunia ini hal-hal yang sungguh tak bisa dihitung, tapi lebih bernilai adanya."

Wednesday 21 January 2015

Kuat


Kuat. Mungkin kata itulah yang saya gunakan bila saya ditanyakan seperti apa keluarga saya. Dalam hal ini, saya ingin bercerita sedikit mengenai beberapa manusia dalam keluarga Ayah saya.

Dalam masa saya kuliah dulu, rasanya berat sekali untuk meminta uang kepada orang tua saya. Oleh karenanya sebisa mungkin saya mencari akal untuk mencari pundi-pundi pendapatan lain. Seiring dengan niat baik tersebut, Tuhan membuka jalan. Tiba-tiba saya sering sekali kedapatan kerjaan untuk menerjemahkan jurnal-jurnal residen, membantu penyusunan tesis residen, menjadi penyiar berita di tv lokal, dan ikut lomba-lomba yang beberapa saya menangkan. Tuhan buka jalan.

Ternyata hal tersebut tidak hanya dilakukan oleh saya, tapi juga oleh dua orang saudara saya yang terdekat yakni Aprita Anggraini dan Hendy Putranto. Saat menjalani kuliah kemarin, Aprita juga bekerja di salah satu perusahaan di Wisma Mandiri. Ia membagi pikiran antara skripsi dan pekerjaannya. Setiap hari saya yang berangkat pukul 05.30 merasa itu terlalu pagi, tapi ternyata Aprita berangkat pukul 05.00 dan pulang lebih larut dari saya. Pada akhirnya ia telah menyelesaikan kuliahnya dan masih tetap bekerja seperti biasa untuk dirinya sendiri dan terutama untuk keluarganya. Tuhan buka jalan.

Selain itu, Hendy Putranto yang sedang menjalani tahun pertama kuliahnya justru lebih kuat lagi. Sejak tahun pertama kuliahnya, ia bekerja di kampusnya sendiri. Pekerjaannya di kampus membuatnya berangkat lebih pagi dan pulang lebih petang. Gaji yang didapat tentu tak banyak, tapi sungguh berarti untuk bisa melanjutkan kehidupan dan pendidikan di masa sekritis ini. Seperti diketahui, mahasiswa sekarang adalah perpaduan antara serius belajar (kalau serius) dan memaksimalkan hiburan harian. Dan satu hal yang terkadang membuat saya sedih adalah ia jarang sekali bersenang-senang.

Barusan malam, saya membeli obat untuk ibu mereka yang sedang sakit. Setelahnya saya sisihkan sedikit uang untuk Hendy, dan betapa ia sungguh berterima kasih sambil berkata kebetulan ia sedang tidak memiliki uang lagi. Saya jadi teringat masa-masa saya saat kuliah dulu.

Ohya, dahulu saya juga ingat saat saya sedang terburu-buru karena memiliki jam siaran langsung di sore hari, saya melewati seorang sales di bagian elektronik di mall itu. Entah saya merasa pernah melihat orang tersebut dan ia pun demikian sehingga akhirnya kami bertukar senyum. Esok paginya saat kuliah, baru saya sadari ternyata ia adalah adik kelas saya. Ternyata kedua orang tuanya hanya petani sehingga ia butuh bekerja untuk menyambung kehidupannya. Belakangan saya ketahui ternyata ia salah satu mahasiswi cumlaude saat lulus. Sungguh membanggakan.

Ah, memikirkan lebih dalam mengenai hal-hal tadi, saya kadang merasa bersalah sendiri karena saya terlalu sering menonton bioskop, makan enak di restoran, atau sempat juga kadang pelesir sejenak. Mungkin seharusnya saya lebih banyak membahagiakan keluarga dan membantu orang-orang lain yang kekurangan daripada sekedar menghabiskan uang demi makanan enak semata.

Hehehe. Mungkin ada yang menganggap hal ini berlebihan. Namun, sungguh, untuk saya sendiri mereka adalah salah satu pelajaran berharga yang memberi saya semangat sehari-hari.

Tuhan buka jalan.
Dan kita juga bisa membuka jalan untuk orang lain.
Kalau saja mau.

Sunday 18 January 2015

Dari teman sebelah.




Jawabannya adalah Udara



Saya masih ingat betul pada suatu siang di sela-sela kelas empat SD saat saya kebetulan duduk tepat di depan meja Ibu Kuswati itu, saya bertanya kepadanya suatu hal. Saya bertanya “mengapa orang tua menyayangi anaknya?” Ibu guru itu pun menjawab, “pertanyaan aneh. Ya, tentu sayang, kan anak itu dari darah sendiri”. Setelahnya, saya kurang paham akan kiasan itu dan larut pada pertanyaan sendiri. Mengapa orang tua sayang pada anaknya? Padahal bisa jadi anak tersebut nakal, merepotkan, dan menghabiskan uang. Mengapa tidak habiskan uang untuk diri sendiri saja, begitu pikir seorang saya yang masih kelas empat sekolah dasar. 

Beranjak dewasa, saya jadi mempertanyakan kembali jawaban ibu guru tersebut. Pertanyaan itu kembali muncul setelah saya bertemu seorang ayah baru yang menjadi teman hidup ibu saya. Apakah bisa ada rasa sayang seorang orang tua kepada anak tanpa ada aliran darah yang sama. Tanda tanya. 

Pada awalnya, seperti kebanyakan anak lain. Saya pun merasa asing. Betapa canggung dan gugupnya saya pada awalnya untuk bertemu dengannya setiap hari dalam rumah kami. Namun, hari, bulan, dan tahun-tahun berganti membuat saya lunak hingga akhirnya di suatu sore memanggil beliau dengan kata “Ayah”.

Semakin waktu, saya semakin dekat dengan ayah saya itu. Beliau adalah orang yang penuh ayom. Beliau adalah orang yang selalu ada saat ibu atau saya membutuhkan sesuatu. Entah bagaimana juga nasib kehidupan saya tanpa ada beliau. Benar-benar, lelaki satu itu adalah salah satu anugerah terbaik yang diberikan Tuhan pada saya dan ibu saya. Kalau saja dibolehkan Tuhan, sungguh ingin saya samakan beliau dengan malaikat pelindung.

Begitu banyak hal baik yang bisa saya pelajari dari beliau. Jika oleh teman-teman kuliah dan kerja saya dikenal sebagai orang yang sabar, sungguh kesabaran saya tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan beliau. Betapa bersyukurnya saya diberikan panutan berupa Ayah-Ayah yang luar biasa. Kesabarannya terlihat dari caranya bertindak dan berbicara. Selain itu, kesabarannya juga terlihat saat ia meladeni emosi ibu dan saat merawat sakit ibu yang biasanya tidak pernah sebentar. Saya banyak sekali belajar darinya.

Satu hal lain yang hingga saat ini masih saya pelajari dari beliau adalah keikhlasan. Terkadang pada hal-hal yang menimpa saya pada hidup ini, saya menerima tapi masih dibayangi oleh rasa-rasa tidak ikhlas. Dari beliau lah, saya belajar arti dari keikhlasan. Keikhlasan beliau saat melihat saya gagal, keikhlasan beliau saat merawat ibu sakit, keikhlasan beliau saat dirinya sakit, dan banyak sekali pola-pola keikhlasan yang beliau miliki.

Ayah saya satu itu adalah salah satu manusia yang saya tahu jarang sekali mengeluh. Entah mulai dari masalah kecil hingga besar, beliau memiliki pola pikir yang menenangkan dan bisa diandalkan. Itu adalah salah satu kualitas manusia yang hingga saat ini masih saya pelajari dari beliau.

Berbicara kembali mengenai jawaban guru kelas empat sekolah dasar saya, saya ingin menambahkan jawaban beliau. Seorang orang tua tidak hanya bisa menyayangi anaknya karena anaknya berasal dari darahnya. Ada hal lain yang juga bisa menghasilkan kasih sayang yang sama besarnya selain darah.

Hal tersebut adalah udara.

Bila saya uraikan kembali, hubungan antara Ayah saya yang satu ini dengan saya bukan dibentuk oleh darah, tapi oleh unsur kehidupan lain yang penting yakni udara. Tautan kami bermula dari udara-udara yang kami lepaskan dan hirup satu sama lain di penjuru rumah kami. Selama bertahun-tahun dalam rumah kami, udara di rumah diisi oleh kasih sayang beliau kepada saya dan ibu. Dan selama tahun-tahun itulah, paru-paru saya dihidupkan jiwanya oleh beliau.

Udaralah yang mempersatukan kami sebagai Ayah dan anak. Beliaulah yang menghidupi kami dalam setiap detiknya. Aku membutuhkannya seperti aku membutuhkan udara. Dan pada akhirnya, silahkan kalian jawab sendiri, bagaimana rasanya hidup tanpa udara.

Tuhan, terima kasih atas Ayah(s) dan Ibu yang kau anugerahkan kepadaku di dunia ini. Sungguh, merekalah salah satu karunia terbesar yang menjadi alasan untuk aku hidup di dunia ini. Semoga Engkau memberikan banyak waktu agar masih banyak kebahagiaan yang bisa aku berikan kepada mereka.

Tuesday 13 January 2015

Three Things I love about Japan

I used to be never really excited about Japan and its culture, but seeing these three things changed my mind a lot. These are few things that made me fall about it: an author, song maker, and an anime movie. 

1. Haruki Murakami

This author is my favorite author so far. His books have deep meaning behind its words. The stories that he offers is also different from another books. Most of the characters were elusive, introvert, and readers, so sometimes it makes me like reading my own feelings and thoughts. My favorite book of him is Norwegian Wood where I feel like I have a lot of similarity with Toru Watanabe, the main character of the book. I am currently reading IQ84 and still amazed reading it each pages. 



2. Haruka Nakamura

I am not an avid listener of instrumental songs, but this instrumental songs that Haruka Nakamura offers is magical to me. I like hearing the songs when the day is raining or when I'm on train, or simply when I need to hear something calming. 




3. 5 Centimeters per Second

The first anime that I watched is Spirited Away which is darn good. But this 5 Centimeters per Second is my favorite Japanese movie. It tells about the love of Takaki Tono to Akari Shinohara. It has three parts.This synopsis is edited from wikipedia:

First Part: Cherry Blossom
Takaki Tōno and Akari Shinohara grow closer because they both prefer to stay inside during recess due to their seasonal allergies.Upon graduating from elementary school, Akari moves to outside town, due to her parents' jobs. The two keep in contact by writing letters but eventually begin to drift apart. Takaki once planned to visit Akari by train, but his train delayed due to snowstrom. It is unbearably sweet how Takaki keep his promise to visit and Akari keep waiting for hours until finally they met at almost midnight.


Taken from here


Second part: Cosmonaut
Kanae Sumida, a classmate of Takaki, had fallen in love with him ever since meeting him in middle school but has never had the courage to confess her feelings. She tries to spend time with him, waiting long after school for the chance to travel home together. However, Takaki appears ignorant to Kanae's feelings and only treats her as a good friend. Kanae observes that Takaki is always writing emails to someone or staring off into the distance as if searching for something far away. It is later shown that Takaki's emails are not being sent to anyone, and that he has had recurring dreams which feature Akari. After a failed attempt to tell Takaki she loves him, Kanae eventually realizes that he is looking for something far beyond what she can offer and decides not to, though she acknowledges that she will always love him.

Taken from here
Third part: 5 Centimeters per Second (Best part!)
It is 2008. Takaki is now a computer programmer in Tokyo, while Akari is preparing to get married to another man. Takaki is still longing for Akari to the detriment of his lifestyle, which is acknowledged by an ex-girlfriend. A depressed Takaki later leaves his job, being unable to cope with his feelings for Akari. Akari goes through her old possessions and finds the letter addressed to Takaki. Takaki and Akari have a dual narration, both recalling a recent dream depicting the events of their last meeting in the snow and hoping to watch the cherry blossoms together again.

One day while walking down a road, Takaki and Akari appear to pass and recognize each other at a train crossing, where they had decided to watch cherry blossoms together thirteen years ago, right before Akari's sudden moving to Tochigi. At opposite sides of the tracks, they stop and begin to look back, but the passing trains cut off their view. Takaki waits for the trains to pass and sees that Akari is gone. After a moment, he smiles to himself and continues walking.

Indeed, for me the movie has a deep meaningful scene and conversation. For about an hour of the movie,  it turned my emotion upside down. Heart touching.

Taken from here

I always end up looking somewhere for your smile
At the railway crossing of the fast pace town
Even though I know you won’t be here
If life can be repeated, I’ll go to you many times over
There’s nothing else that I want
Nothing else is more important than you



Well, read, listen, and watch it by yourself if you would like to know more.


Monday 12 January 2015

The Butterfly Effect

The Butterfly Effect adalah salah satu film yang paling saya suka. Biasanya mengapa saya begitu menyukai suatu film adalah karena ada makna besar yang terkandung didalamya. Nah, di film The Butterfly Effect ini ada suatu makna dan pelajaran dasar yang menurut saya penting untuk diresapi.

Taken from here


The Butterfly Effect bercerita mengenai seorang laki-laki yang suatu ketika menemukan dirinya mampu kembali ke masa lalu. Berkat kemampuannya itu, ia mengubah beberapa hal dalam masa lalunya. Namun, seperti tagline dari film ini, "Change one thing, change everything", maka pada akhirnya justru kehidupannya jadi kacau balau. Lalu ia kembali dan mengubah lagi sisi-sisi masa lalunya, tetapi pada akhirnya kehidupan masa depannya kembali kacau. Akhir film ini sih, diam-diam tapi mengharukan. Ah, sepertinya kalau masalah cerita di filmnya, lebih baik ditonton sendiri.



Yang ingin saya ceritakan disini adalah hal yang saya dapatkan dari film itu. Jadi, dari film itu, saya diyakinkan bahwa:
kehidupan yang kita jalani sekarang adalah kemungkinan kehidupan yang terbaik yang bisa kita miliki. Semua hal yang terjadi di masa lalu adalah bagian dari jalan hidup yang membentuk masa depan kita. Tidak selamanya kejadian buruk di masa lalu akan mengubah nasib kita jadi lebih baik andaikata kejadian itu mampu kita ubah. Orang-orang yang datang dan pergi juga ternyata sudah sesuai pada garis kehidupan kita, ada kebaikan dalam kedatangan mereka dan ada kebaikan pula dalam kepergian mereka dalam hidup kita.

 Taken from here

Soundtrack film ini pun jadi salah satu lagu kesukaan saya, selain dinyanyikan oleh band kesukaan saya. Judulnya Stop Crying Your Heart out dari Oasis. Terkadang, atau seringkali untuk saya, pelajaran-pelajaran penting hidup saya dapatkan dari film, lagu, atau buku, seperti potongan lagu ini yang mengajarkan saya untuk ikhlas mengenai kehidupan yang saya miliki sekarang. Oh ya, di lagu ini ada bagian manis, bahwa semua hal yang pernah pergi dari kita pada akhirnya akan kita temui kembali di suatu waktu lain dan dalam bentuk lain.


Taken from here

 Hold up, Hold on
Don't be scared
You'll never change what's been and gone

May your smile, Shine on
 Don't be scared
Your destiny may keep you warm
 
Cause' all of the stars
Are fading away
Just try not to worry
You'll see them some day
Take what you need
And be on your way
And stop crying your heart out


xvi

Halo, jadi kemarin saya berulang tahun (sama dengan ulang tahun Haruki Murakami lho!). Dewasa ini bagi saya ulang tahun saya anggap sebagai hal biasa. Bahkan malah kadang melodrama kenapa usia begitu cepat bertambah. Fuh, memang waktu tak kenal ampun. 

Di ulang tahun saya tahun ini, orang-orang terdekat sih terutama yang membuat saya bahagia. Tahun ini, saya akhirnya benar-benar menyadari mana orang yang benar-be nar bisa dipastikan selalu ada untuk saya walaupun jarak dan waktu kadang menghalangi. Eternal relationship.

Cerita ulang tahun saya yang pertama tentu saja datang dari orang tua saya. Padahal rencananya tahun ini saya ingin lebih banyak memberi mereka, eh tapi ternyata mereka yang duluan menghadiahkan saya sesuatu. Mereka membelikan saya meja belajar! Ya, sesuatu yang telah lama saya rencanakan untuk beli. Menyenangkan sekali saat pulang ke rumah mendapati meja belajar dari kayu jati itu sudah menunggu rapi untuk digunakan membaca dan menulis. Ohya, selain itu mereka membelikan saya piyama. Sesuatu yang juga saya inginkan karena saya selalu serius mengenai perihal tidur. 

Selanjutnya ada Fiona Rahma, pacar saya ini siang-siang datang ke kantor membawa kue. Fiona juga memberi saya hadiah yang sangat membahagiakan. Saya senang surat. Betapa menyenangkannya bila saya diberi surat dalam bentuk fisik. Ia membuatkan saya semacam scrapbook berisi tulisan dan foto-foto mengenai kami, ditambah ada ucapan juga dari teman-teman dekat saya yang ia kumpulkan. Yang lebih membahagiakan lagi, orang tua Fiona membelikan saya hadiah berupa buku Fiqih. Kebetulan sekali karena telah lama sekali saya ingin belajar mengenai Fiqih, supaya hidup ini diusahakan berjalan benar adanya. Selain itu, ia juga membelikan kemeja berwarna oranye. Seperti Peeta Melark, saya juga lumayan suka dengan oranye. Intinya, ini kombinasi hadiah paling menyenangkan yang saya terima. 










Di kantor, teman-teman sejawat juga beli kue ternyata untuk saya. Jadi mereka merayakan bareng sama Fiona deh. Saya agak malu, Fiona juga demikian. Lumayan ternyata diperhatikan teman-teman sekantor yang kebanyakan berusia jauh sekali diatas saya. 


Seharian kemarin itu hujan. Menyenangkan juga sih, naik commuter line yang sepi sambil melihat jendela dengan pemandangan hujan dan mendengarkan lagu. Yah, ini keindahan sederhana yang rasanya dalam. Hadiah alam buat saya nampaknya. Sepanjang hari sisanya, teman-teman dekat bergantian mengucapkan, Ilham Nara, Faiz Farhan, Khalifatur, Dian Navarro, Ilham Anggi, Fajar Surya, dan Nyimas Wulan. Teman-teman Abang None Jakarta dan Abang None Jakarta Barat juga kirim ucapan. Apalagi Dita Christiani yang buat foto editan yang cuma kami berdua yang mengerti rasanya.  

 Faiz Farhan

 Ini dari Dita

Teman-teman dekat saya yang satu kelompok koas dulu juga mengirimkan satu file berisi kumpulan ucapan mereka. Delapan orang yang buat hidup saya cukup berwarna juga. Ah, betapa kangen bisa koas bareng mereka. Sayangnya, hal itu ga bakal pernah terjadi. Jadi ya hanya bisa diingat-ingat perjalanan hidup satu itu. Saat mau tidur juga, Daymas Arangga dan Fajar Surya kirim video. Lucu dan aneh ucapannya. 


Malam-malam sekali, Bagaskara dan Bumi menelepon. Mengucapkan selamat ulang tahun sambil bertukar kabar cerita dari lain benua. Katanya mereka juga mengirim hadiah, tetapi belum sampai karena terlambat mengirimnya. Tapi walau hadiahnya belum sampai, doa-doanya sudah sampai duluan, kilahnya. 

Ya, begitulah. Tidak ramai, tapi diisi orang-orang penting. Terima kasih Allah SWT atas karunianya. Maaf kalau tahun-tahun selama hidup ini masih malas beribadah, bekerja, dan belajar. Semoga Tuhan mau memberi berkah dan pencerahan lebih baik kepada saya biar hidup sisanya lebih bermakna untuk diri sendiri, keluarga, dan orang lain. 

Halo, Damar Prasetya. Selamat Ulang Tahun. 
Sehat-sehat dan bahagia.

Hasil yang Merelakan Usaha.

Jadi dokter itu berusaha. Berusaha berpikir harus melakukan apa biar pasien sembuh, harus belajar agar tidak ada hal penting yang terlupakan...