Monday 16 November 2015

Cinta (tak) Harus Memiliki?

Ungkapan bahwa ‘Cinta tak harus memiliki’ mungkin ditanggapi berbeda oleh banyak orang. Ada yang setuju, ada pula yang menyanggahnya. Dan, seperti pada kebanyakan hal di dunia ini, tidak ada salah atau benar dari pernyataan tersebut. Orang yang setuju dengan pernyataan tersebut pasti punya penjelasannya sendiri, begitu pula sebaliknya. Semuanya kembali kepada pribadi masing-masing karena memang manusia punya pemikirannya masing-masing. 

Beberapa kali saya pernah mendengar beberapa orang berbicara tentang hal ini. Rata-rata kenalan saya yang setuju dengan hal ini biasanya adalah orang yang baik nan lembut sekali tetapi pasif serta cenderung pendiam. Sedangkan rata-rata kenalan saya yang menyangahnya atau punya prinsip bahwa cinta harus memiliki, biasanya adalah orang berpendirian teguh, pekerja keras tetapi juga keras kepala serta cenderung talkative. Tentu saja itu hanya menurut rata-rata saya, tanpa ada validitas dari kebenarannya. 

Di bagian mana saya berpihak? 

Saya berpendapat serupa dengan kelompok yang pertama, yakni cinta tak harus memiliki. Penjelasan singkat saya adalah dalam mencintai seseorang, mengetahui orang tersebut berbahagia adalah bentuk cinta yang tertinggi. Melebihi dari kadar ingin memiliki atau keinginan untuk terus bersamanya. Untuk apa mempertahankan sesuatu bila ternyata orang tersebut tidak bahagia bersama kita, atau yakin bahwa kebahagiaan terbesarnya ada pada sesuatu yang bukan pada kita. 

Kemarin sore, saya teringat dengan cerita zaman nabi terdahulu yang membuat saya semakin yakin bahwa cinta tak harus memiliki. Kisah ini adalah kisah kasih sayang antara orang tua dan anaknya, yang jelas melebihi dari cinta sepasang manusia picisan. Cerita tersebut adalah cerita mengenai seorang bayi yang diperebutkan oleh dua orang wanita yang mengakui bahwa bayi tersebut adalah miliknya. Singkat cerita, pada akhirnya sang raja memberi solusi bahwa ia akan memotong saja bayi itu menjadi dua agar keduanya adil mendapatkannya. Salah seorang ibu tersebut setuju dengan ide tersebut dan satunya lagi begitu takutnya sehingga ia merelakan saja bayi tersebut diberikan kepada wanita tadi. Pada akhirnya, raja pun paham bahwa wanita yang lebih rela melepaskan anaknya untuk orang lain daripada melihat anaknya terbelah itulah yang merupakan ibu kandung sesungguhnya. 

Jadi, bisa dilihat bahwa dalam kadar cinta yang lebih besar, seseorang dapat lebih memilih untuk melepaskan ego untuk memiliki demi kebaikan atau kebahagiaan orang yang disayangnya. Justru dalam kadar cinta yang lebih besar itulah, ego dapat diredam. Memang menyakitkan untuk melihat orang yang kita sayangi pergi dari pelukan kita. Berat dan sesak pula rasanya dada kita saat melihat ia bisa tersenyum bahagia saat ia menggandeng mesra orang lain. Namun, di dalam nyeri yang teramat itu, ada sedikit keikhlasan sebagai tanda cinta kita padanya. 

Ada banyak cara dalam mencintai. Bisa jadi yang kamu utarakan itu benar adanya. Namun, jangan lupa bahwa cara orang lain yang berbeda darimu belum tentu pula salah. Dari sekian banyak cara mencinta itu, merelakan adalah salah satunya.

No comments:

Post a Comment

Hasil yang Merelakan Usaha.

Jadi dokter itu berusaha. Berusaha berpikir harus melakukan apa biar pasien sembuh, harus belajar agar tidak ada hal penting yang terlupakan...