Ungkapan bahwa ‘Cinta tak harus
memiliki’ mungkin ditanggapi berbeda oleh banyak orang. Ada yang setuju, ada
pula yang menyanggahnya. Dan, seperti pada kebanyakan hal di dunia ini, tidak
ada salah atau benar dari pernyataan tersebut. Orang yang setuju dengan
pernyataan tersebut pasti punya penjelasannya sendiri, begitu pula sebaliknya.
Semuanya kembali kepada pribadi masing-masing karena memang manusia punya
pemikirannya masing-masing.
Beberapa
kali saya pernah mendengar beberapa orang berbicara tentang hal ini. Rata-rata
kenalan saya yang setuju dengan hal ini biasanya adalah orang yang baik nan
lembut sekali tetapi pasif serta cenderung pendiam. Sedangkan rata-rata kenalan
saya yang menyangahnya atau punya prinsip bahwa cinta harus memiliki, biasanya
adalah orang berpendirian teguh, pekerja keras tetapi juga keras kepala serta
cenderung talkative. Tentu saja itu
hanya menurut rata-rata saya, tanpa ada validitas dari kebenarannya.
Di
bagian mana saya berpihak?
Saya
berpendapat serupa dengan kelompok yang pertama, yakni cinta tak harus
memiliki. Penjelasan singkat saya adalah dalam mencintai seseorang, mengetahui
orang tersebut berbahagia adalah bentuk cinta yang tertinggi. Melebihi dari
kadar ingin memiliki atau keinginan untuk terus bersamanya. Untuk apa
mempertahankan sesuatu bila ternyata orang tersebut tidak bahagia bersama kita,
atau yakin bahwa kebahagiaan terbesarnya ada pada sesuatu yang bukan pada kita.
Kemarin
sore, saya teringat dengan cerita zaman nabi terdahulu yang membuat saya
semakin yakin bahwa cinta tak harus memiliki. Kisah ini adalah kisah kasih
sayang antara orang tua dan anaknya, yang jelas melebihi dari cinta sepasang
manusia picisan. Cerita tersebut adalah cerita mengenai seorang bayi yang
diperebutkan oleh dua orang wanita yang mengakui bahwa bayi tersebut adalah
miliknya. Singkat cerita, pada akhirnya sang raja memberi solusi bahwa ia akan
memotong saja bayi itu menjadi dua agar keduanya adil mendapatkannya. Salah
seorang ibu tersebut setuju dengan ide tersebut dan satunya lagi begitu
takutnya sehingga ia merelakan saja bayi tersebut diberikan kepada wanita tadi.
Pada akhirnya, raja pun paham bahwa wanita yang lebih rela melepaskan anaknya
untuk orang lain daripada melihat anaknya terbelah itulah yang merupakan ibu
kandung sesungguhnya.
Jadi,
bisa dilihat bahwa dalam kadar cinta yang lebih besar, seseorang dapat lebih
memilih untuk melepaskan ego untuk memiliki demi kebaikan atau kebahagiaan
orang yang disayangnya. Justru dalam kadar cinta yang lebih besar itulah, ego
dapat diredam. Memang menyakitkan untuk melihat orang yang kita sayangi pergi
dari pelukan kita. Berat dan sesak pula rasanya dada kita saat melihat ia bisa
tersenyum bahagia saat ia menggandeng mesra orang lain. Namun, di dalam nyeri
yang teramat itu, ada sedikit keikhlasan sebagai tanda cinta kita padanya.
Ada
banyak cara dalam mencintai. Bisa jadi yang kamu utarakan itu benar adanya.
Namun, jangan lupa bahwa cara orang lain yang berbeda darimu belum tentu pula
salah. Dari sekian banyak cara mencinta itu, merelakan adalah salah satunya.
No comments:
Post a Comment