Sahabat saya, Ganesha Bumi, adalah seseorang yang teramat diplomatis. Menurut kami, kediplomatisannya itu adalah karakter paling menguntungkan yang ia miliki. Ibunya berkata bahwa Bumi adalah kombinasi pertengahan antara saya (yang lebih pasif) dan Bagaskara (yang kerasnya bukan main). Si Bumi ini bisa begitu keras memegang teguh prinsipnya sambil tetap menjaga-jaga perangai dan kondisi agar tetap kondusif berjalan.
Beberapa malam lalu, kami bertiga berkumpul setelah melakukan sedikit olahraga sore di Senayan. Sedikit hal yang saya ingat dari percakapan malam itu adalah:
"Semua manusia itu berbeda-beda. Kita mungkin saja pandai dalam sesuatu, tetapi bodoh (atau belum pandai) dalam suatu hal lainnya. Kita juga mungkin baik akan sesuatu, namun buruk pula dalam sesuatu. Ada kalanya juga kita terkadang menjaga teguh suatu aturan, tetapi melanggar penuh alasan dalam peraturan lainnya. Sebelum memberi label pada orang lain, ada baiknya kita melihat diri kita terlebih dahulu. Bukan untuk memberi standar siapa yang lebih baik, tetapi untuk memahami kembali bahwa sesungguhnya kita semua ini berbeda dalam kebaikan dan keburukan masing-masing"
Ia lebih menyadari hal itu saat menempuh pendidikan magisternya di Britania sana. Disana, ia menyadari bahwa ia lebih pandai dalam analisis material bangunan daripada teman-temannya, tapi ia lebih bodoh dalam hal aljabar. Dalam segi perbuatan, ia lebih rapi dalam menata barang-barangnya tapi ia lebih tidak tepat waktu dibandingkan teman sekelompoknya.
Bumi bilang, bahwa di dunia seperti ini, yang dibutuhkan bukanlah memberi label, tapi nasihat yang baik untuk orang lain. Butuh waktu untuk seseorang agar bisa berubah menjadi lebih baik, termasuk diri kita sendiri. Dan bila pada akhirnya mereka tidak berubah, kita tidak bisa memaksakan sesuatu kepada orang lain, bukan? Pada akhirnya, yang bisa kita lakukan hanyalah menerima orang lain. Baik kebaikan ataupun kekurangannya.
No comments:
Post a Comment