Namanya
Blisik. Tubuhnya kuat kentara sejak dari lahir. Bahkan saat lahir dulu, telapak
tangannya mencengkram kuat lengan dukun beranak yang melahirkannya,
meninggalkan lebam-lebam pada nenek tua itu. Sejak kecil, Blisik senang
berkelahi. Kalau sedang bermain petak umpet atau gobak sodor dan ia kalah, maka
ia akan mendorong temannya yang menang itu sampai yang cengeng akan langsung
menangis dan yang tidak cengeng akan ditinju dulu hingga akhirnya jadi cengeng
juga. Sejak itu, teman-temannya suka bermain diam-diam tanpa mengajak Blisik.
Kalau pun kepalang mengajak Blisik, teman-temannya akan pura-pura kalah karena
takut akan Blisik.
Pernah
ada yang coba melawan Blisik, tapi pertandingan baru berlangsung satu menit,
gigi anak kecil itu sudah tanggal satu. Berjalan dua menit, gigi anak itu
tanggal dua. Melihat kekalahan telak anak malang itu, anak-anak lain melarikan anak
itu sebelum ia harus menjalani masa kecil tanpa gigi susu bila pertandingan
berlangsung 24 menit.
Blisik
bangga ia jadi jagoan. Sambil berkacak pinggang, ia berteriak menantang siapa
yang berani melawannya.
“Aku!”
Dari
belakang, ia mendengar suara itu. Suaranya lembut bukan main, tapi malah
membuat jantung Blisik berdegup kencang sekali. Yang terdengar cuma satu kata,
tapi semua bulu kuduknya tegap berdiri. Blisik menoleh dan melihat sosok itu.
“Emak!
Tadi aku dijahili!”
“Diam,
Blisik!”
Panjang
lebar Blisik menjelaskan duduk perkara, lebih panjang dan lebih lebar pula Emak
berkata bahwa ia melihat semuanya. Emak bilang ia malu punya anak pembuat onar.
Blisik harus bertanggung jawab, dengan datar tapi menusuk Emak berkata pada
Blisik.
Sambil
menangis, Blisik pergi ditemani Emak ke rumah sepuluh teman yang tadi
ditangisinya. Ibu anak-anak lain yang pada awalnya geram dengan Blisik pada
akhirnya luluh dengan tangis sesal Blisik dan permintaan maaf tulus dari Emak.
Pada rumah yang ke sepuluhlah, Emak dimarahi habis-habisan oleh ibu dari anak
yang giginya tanggal dua itu. Namun, setelah Blisik dan Emak berduet dalam
tangisan minta maaf itu, pada akhirnya ibu si anak itu luluh juga pada Blisik.
Esok-esoknya,
Blisik jadi anak yang lumayan baik. Lumayan baik, belum baik betul-betulan
karena diam-diam, Blisik masih suka merebut mainan anak-anak lain sambil
mengancam kalau mengadu kepada Emak. Anak-anak itu takut sehingga mereka
diam-diam saja. Namun ketika sampai di rumah Emak menemukan mainan-mainan baru
yang tidak pernah Emak belikan, Emak bertanya macam-macam dari mana Blisik
dapat mainan itu. Blisik berkata teman-temannya yang memberikan. Tak mau
merugikan orang lain, Emak menggandeng Blisik dan bertandang ke rumah anak-anak
lain menanyakan kebenarannya. Ibu anak-anak lain mengenali mainan-mainan mana
yang Blisik ambil.
“Blisik”
Hanya
dengan satu panggilan menyindir datar tapi penuh makna itu, Blisik menangis
meminta-minta maaf pada Emak. Blisik bahkan sambil memeluk kaki Emak minta Emak
jangan membenci Blisik. Akhirnya, seperti sedia kala, Blisik keliling
mengembalikan mainan-mainan yang ia rebut dari teman-temannya. Emak juga sambil
menahan tangis ikut meminta maaf penuh malu.
Besok-besoknya,
Blisik jadi hampir jadi anak baik. Hampir jadi karena kita belum bisa memastikannya.
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, ternyata Blisik memang tak lagi-lagi membuat
gara-gara baru di kampung itu.
Suatu
siang, datang seorang lelaki tegap berkumis tebal dengan clurit di sisipan
celananya. Blisik takjub pada lelaki itu. Betapa ia ingin menjadi jagoan dan punya
senjata seperti lelaki itu. Diam-diam sambil mengintip, ia melihat lelaki itu
mencium pipi Emak. Blisik cekikikan sendirian tanpa suara. Emak punya pacar
lagi akhirnya, kata Blisik masih sambil cekikikan. Melihat clurit tadi
ditinggalkannya di atas meja, Blisik pun memain-mainkannya layaknya seorang
jagoan penguasa kampung.
Belum lama bermain, Blisik mendengar teriakan ibunya
memanggil namanya. Sambil mengintip diam-diam lagi, ia melihat lelaki berkumis
itu sedang mencekik leher Emak. Buru-buru Blisik masuk ke dalam kamar dan
mengayunkan clurit ke punggung lelaki itu. Lelaki itu berteriak kencang lalu
meronta-ronta. Matanya merah menyala mencoba menangkap Blisik. Saat tangannya
berhasil menangkap kaki kanan Blisik, tangannya mengayunkan kembali clurit itu
ke mata lelaki itu. Lelaki itu akhirnya tersungkur memegangi bola matanya yang
tersisa separuh. Blisik lari melompat menuju ibunya, dibangunkannya Emak tapi
tak ada satu kata yang keluar dari mulut Emak. Didekapkannya pipi ke dada Emak
tapi napas dari dadanya itu tak lagi naik turun.
Melihat
lelaki berkumis itu masih meronta dan mencoba bangun, Blisik menginjak wajah
lelaki. Lelaki itu meronta berteriak bahwa ia adalah bapak dari Blisik. Blisik
yang murka menginjak berkali-kali wajah lelaki itu hingga tempurungnya beradu
dengan lantai. Akhirnya, ia melompat-lompat di atas dada lelaki itu sampai
akhirnya bosan karena si lelaki tak lagi meronta-ronta.
Dengan
masih memegang clurit, Blisik bertekad untuk jadi jagoan. Sudah terlanjur jadi
pembunuh, pikirnya, maka ia tak akan setengah-setengah. Ia akan jadi jagoan dan
pemain clurit paling handal. Karena lelah, Blisik tidur di sebelah ibunya yang
tak lagi bernapas. Blisik memeluk Emak, walau tubuhnya lebih dingin dari air
sungai di tengah malam sekalipun.
No comments:
Post a Comment