Sunday 11 January 2015

Blisik



Namanya Blisik. Tubuhnya kuat kentara sejak dari lahir. Bahkan saat lahir dulu, telapak tangannya mencengkram kuat lengan dukun beranak yang melahirkannya, meninggalkan lebam-lebam pada nenek tua itu. Sejak kecil, Blisik senang berkelahi. Kalau sedang bermain petak umpet atau gobak sodor dan ia kalah, maka ia akan mendorong temannya yang menang itu sampai yang cengeng akan langsung menangis dan yang tidak cengeng akan ditinju dulu hingga akhirnya jadi cengeng juga. Sejak itu, teman-temannya suka bermain diam-diam tanpa mengajak Blisik. Kalau pun kepalang mengajak Blisik, teman-temannya akan pura-pura kalah karena takut akan Blisik. 

Pernah ada yang coba melawan Blisik, tapi pertandingan baru berlangsung satu menit, gigi anak kecil itu sudah tanggal satu. Berjalan dua menit, gigi anak itu tanggal dua. Melihat kekalahan telak anak malang itu, anak-anak lain melarikan anak itu sebelum ia harus menjalani masa kecil tanpa gigi susu bila pertandingan berlangsung 24 menit.

Blisik bangga ia jadi jagoan. Sambil berkacak pinggang, ia berteriak menantang siapa yang berani melawannya.

“Aku!”

Dari belakang, ia mendengar suara itu. Suaranya lembut bukan main, tapi malah membuat jantung Blisik berdegup kencang sekali. Yang terdengar cuma satu kata, tapi semua bulu kuduknya tegap berdiri. Blisik menoleh dan melihat sosok itu.

“Emak! Tadi aku dijahili!”

“Diam, Blisik!”

Panjang lebar Blisik menjelaskan duduk perkara, lebih panjang dan lebih lebar pula Emak berkata bahwa ia melihat semuanya. Emak bilang ia malu punya anak pembuat onar. Blisik harus bertanggung jawab, dengan datar tapi menusuk Emak berkata pada Blisik.

Sambil menangis, Blisik pergi ditemani Emak ke rumah sepuluh teman yang tadi ditangisinya. Ibu anak-anak lain yang pada awalnya geram dengan Blisik pada akhirnya luluh dengan tangis sesal Blisik dan permintaan maaf tulus dari Emak. Pada rumah yang ke sepuluhlah, Emak dimarahi habis-habisan oleh ibu dari anak yang giginya tanggal dua itu. Namun, setelah Blisik dan Emak berduet dalam tangisan minta maaf itu, pada akhirnya ibu si anak itu luluh juga pada Blisik.

Esok-esoknya, Blisik jadi anak yang lumayan baik. Lumayan baik, belum baik betul-betulan karena diam-diam, Blisik masih suka merebut mainan anak-anak lain sambil mengancam kalau mengadu kepada Emak. Anak-anak itu takut sehingga mereka diam-diam saja. Namun ketika sampai di rumah Emak menemukan mainan-mainan baru yang tidak pernah Emak belikan, Emak bertanya macam-macam dari mana Blisik dapat mainan itu. Blisik berkata teman-temannya yang memberikan. Tak mau merugikan orang lain, Emak menggandeng Blisik dan bertandang ke rumah anak-anak lain menanyakan kebenarannya. Ibu anak-anak lain mengenali mainan-mainan mana yang Blisik ambil.

“Blisik”

Hanya dengan satu panggilan menyindir datar tapi penuh makna itu, Blisik menangis meminta-minta maaf pada Emak. Blisik bahkan sambil memeluk kaki Emak minta Emak jangan membenci Blisik. Akhirnya, seperti sedia kala, Blisik keliling mengembalikan mainan-mainan yang ia rebut dari teman-temannya. Emak juga sambil menahan tangis ikut meminta maaf penuh malu.

Besok-besoknya, Blisik jadi hampir jadi anak baik. Hampir jadi karena kita belum bisa memastikannya. Sebulan, dua bulan, tiga bulan, ternyata Blisik memang tak lagi-lagi membuat gara-gara baru di kampung itu.

Suatu siang, datang seorang lelaki tegap berkumis tebal dengan clurit di sisipan celananya. Blisik takjub pada lelaki itu. Betapa ia ingin menjadi jagoan dan punya senjata seperti lelaki itu. Diam-diam sambil mengintip, ia melihat lelaki itu mencium pipi Emak. Blisik cekikikan sendirian tanpa suara. Emak punya pacar lagi akhirnya, kata Blisik masih sambil cekikikan. Melihat clurit tadi ditinggalkannya di atas meja, Blisik pun memain-mainkannya layaknya seorang jagoan penguasa kampung. 

Belum lama bermain, Blisik mendengar teriakan ibunya memanggil namanya. Sambil mengintip diam-diam lagi, ia melihat lelaki berkumis itu sedang mencekik leher Emak. Buru-buru Blisik masuk ke dalam kamar dan mengayunkan clurit ke punggung lelaki itu. Lelaki itu berteriak kencang lalu meronta-ronta. Matanya merah menyala mencoba menangkap Blisik. Saat tangannya berhasil menangkap kaki kanan Blisik, tangannya mengayunkan kembali clurit itu ke mata lelaki itu. Lelaki itu akhirnya tersungkur memegangi bola matanya yang tersisa separuh. Blisik lari melompat menuju ibunya, dibangunkannya Emak tapi tak ada satu kata yang keluar dari mulut Emak. Didekapkannya pipi ke dada Emak tapi napas dari dadanya itu tak lagi naik turun.

Melihat lelaki berkumis itu masih meronta dan mencoba bangun, Blisik menginjak wajah lelaki. Lelaki itu meronta berteriak bahwa ia adalah bapak dari Blisik. Blisik yang murka menginjak berkali-kali wajah lelaki itu hingga tempurungnya beradu dengan lantai. Akhirnya, ia melompat-lompat di atas dada lelaki itu sampai akhirnya bosan karena si lelaki tak lagi meronta-ronta.

Dengan masih memegang clurit, Blisik bertekad untuk jadi jagoan. Sudah terlanjur jadi pembunuh, pikirnya, maka ia tak akan setengah-setengah. Ia akan jadi jagoan dan pemain clurit paling handal. Karena lelah, Blisik tidur di sebelah ibunya yang tak lagi bernapas. Blisik memeluk Emak, walau tubuhnya lebih dingin dari air sungai di tengah malam sekalipun.
 

No comments:

Post a Comment

Hasil yang Merelakan Usaha.

Jadi dokter itu berusaha. Berusaha berpikir harus melakukan apa biar pasien sembuh, harus belajar agar tidak ada hal penting yang terlupakan...