14.00
Kau
bagaikan angin di kota Jakarta. Terkadang ada, terkadang tidak. Terkadang kurasakan,
terkadang tidak. Terkadang mengejutkan, terkadang tiada berita. Sama seperti
sore itu, dimana tiba-tiba kamu meneleponku, mengajakku untuk jalan bersama,
yang aku sambut dengan Ya!, suatu pertanyaan retorik yang kita semua tau
jawabannya.
19.00
Kita
menikmati film itu, film mengenai superhero. Ah, apalah artinya film jika
melihatmu jauh lebih menarik. Kita menikmati makan malam kita, makan malam
berupa nasi berwarna merah yang disajikan diatas piring panas. Kamu menghabiskan
makan malammu dengan segera, dengan cara yang berantakan hingga kamu tersadar
dan bertanya, “Eh, cara makanku seperti anak kecil, ya?”, dan aku tertawa kecil
tanpa butuh menjawabnya.
21.00
Pegangan
tangan kita terlalu menyenangkan, tapi jadwal keretaku tidak mengizinkan kita
berlama-lama menghabiskan waktu bersama. Kita sama-sama kebingungan mencari
jalan keluar dari sana. Kau berjalan cepat, terlihat antusias mencari jalan
keluar, seperti tokoh Dora dalam Dora the Explorer, aku bilang seperti itu dan kau
menyimpul senyum. Kau berjalan sangat cepat di depanku, dengan wajah antusias
mencari jalan keluar itu, dengan langkah-langkah kecil yang kau buat. Ah,
sayang, bagaimana bisa tingkah kamu selucu itu.
22.00
Akhirnya
kita berpisah di titik itu. Kau menunggu bus kota dan aku pamit untuk mengejar
jadwal keretaku yang akan berakhir. Yaah, akhirnya kita berpisah juga. Aku menaiki
tangga-tangga menuju loket keretaku hingga seketika tersentak akan tepukan di
pundak belakangku. Hei, tidak mungkin ada orang lain yang mengenaliku di kota
besar ini, tepukan dari siapa, aku bertanya.
22.05
Tepukan
tadi ternyata tepukanmu. Sayang, mengapa kau terlalu pintar membuat senyumku
tersungging kembali. Kau langsung
buru-buru berjalan mendahuluiku menuju loket itu. Mengeluarkan lembaran uang
dan menukarnya dengan dua tiket kereta. Jadi, kau mengambil jalan lebih jauh
untuk lebih lama bersamaku, serius?
23.00
Kita
sama-sama berdiri dalam kereta itu hingga akhirnya kita sampai di stasiun
kereta tujuan. Bulan sudah berpelukan terlalu mesra dengan langit malam dan
bintang, menimbulkan gelapnya malam yang romantis. Kita berjalan beriringan
keluar dari stasiun itu. Kau menggait tanganku dan mengajakku berdiri dibawah
gelapnya malam, memelukku dan mencium bibirku. Aku mengelus pipi kirimu. Tuhan,
betapa cantiknya manusia yang Kau ciptakan ini. Aku bersyukur atas dirinya.
23.00
Bumi,
kenapa kau selalu berputar lebih cepat setiap kali aku bersamanya. Membuat menit
terasa seperti detik. Membuat kata selamat tinggal harus terucap juga karena
jarum pendek di jam tanganku menunjukkan angka sebelas. Aku mengantarmu kembali
menaiki kereta menuju rumahmu. Meninggalkan aku yang menaiki kereta berbeda.
23.30
Malam,
terima kasih telah meminjamkan gelapmu. Engkau mengizinkanku mencium, memeluk,
dan mengelus pipi kirimu. Kapan-kapan pinjamkan lagi gelapmu, ya, Tuan Malam :)
22.30-sekarang
Sayang, bahagia dari dirimu kok seperti tato, masih melekat di benak sampai sekarang. Beneran!
No comments:
Post a Comment