Sunday 9 October 2011

Tato

14.00
Kau bagaikan angin di kota Jakarta. Terkadang ada, terkadang tidak. Terkadang kurasakan, terkadang tidak. Terkadang mengejutkan, terkadang tiada berita. Sama seperti sore itu, dimana tiba-tiba kamu meneleponku, mengajakku untuk jalan bersama, yang aku sambut dengan Ya!, suatu pertanyaan retorik yang kita semua tau jawabannya.

19.00
Kita menikmati film itu, film mengenai superhero. Ah, apalah artinya film jika melihatmu jauh lebih menarik. Kita menikmati makan malam kita, makan malam berupa nasi berwarna merah yang disajikan diatas piring panas. Kamu menghabiskan makan malammu dengan segera, dengan cara yang berantakan hingga kamu tersadar dan bertanya, “Eh, cara makanku seperti anak kecil, ya?”, dan aku tertawa kecil tanpa butuh menjawabnya.

21.00
Pegangan tangan kita terlalu menyenangkan, tapi jadwal keretaku tidak mengizinkan kita berlama-lama menghabiskan waktu bersama. Kita sama-sama kebingungan mencari jalan keluar dari sana. Kau berjalan cepat, terlihat antusias mencari jalan keluar, seperti tokoh Dora dalam Dora the Explorer, aku bilang seperti itu dan kau menyimpul senyum. Kau berjalan sangat cepat di depanku, dengan wajah antusias mencari jalan keluar itu, dengan langkah-langkah kecil yang kau buat. Ah, sayang, bagaimana bisa tingkah kamu selucu itu.

22.00
Akhirnya kita berpisah di titik itu. Kau menunggu bus kota dan aku pamit untuk mengejar jadwal keretaku yang akan berakhir. Yaah, akhirnya kita berpisah juga. Aku menaiki tangga-tangga menuju loket keretaku hingga seketika tersentak akan tepukan di pundak belakangku. Hei, tidak mungkin ada orang lain yang mengenaliku di kota besar ini, tepukan dari siapa, aku bertanya.

22.05
Tepukan tadi ternyata tepukanmu. Sayang, mengapa kau terlalu pintar membuat senyumku tersungging kembali.  Kau langsung buru-buru berjalan mendahuluiku menuju loket itu. Mengeluarkan lembaran uang dan menukarnya dengan dua tiket kereta. Jadi, kau mengambil jalan lebih jauh untuk lebih lama bersamaku, serius?

23.00
Kita sama-sama berdiri dalam kereta itu hingga akhirnya kita sampai di stasiun kereta tujuan. Bulan sudah berpelukan terlalu mesra dengan langit malam dan bintang, menimbulkan gelapnya malam yang romantis. Kita berjalan beriringan keluar dari stasiun itu. Kau menggait tanganku dan mengajakku berdiri dibawah gelapnya malam, memelukku dan mencium bibirku. Aku mengelus pipi kirimu. Tuhan, betapa cantiknya manusia yang Kau ciptakan ini. Aku bersyukur atas dirinya.

23.00
Bumi, kenapa kau selalu berputar lebih cepat setiap kali aku bersamanya. Membuat menit terasa seperti detik. Membuat kata selamat tinggal harus terucap juga karena jarum pendek di jam tanganku menunjukkan angka sebelas. Aku mengantarmu kembali menaiki kereta menuju rumahmu. Meninggalkan aku yang menaiki kereta berbeda.

23.30
Malam, terima kasih telah meminjamkan gelapmu. Engkau mengizinkanku mencium, memeluk, dan mengelus pipi kirimu. Kapan-kapan pinjamkan lagi gelapmu, ya, Tuan Malam :)




22.30-sekarang
Sayang, bahagia dari dirimu kok seperti tato, masih melekat di benak sampai sekarang. Beneran!

No comments:

Post a Comment

Hasil yang Merelakan Usaha.

Jadi dokter itu berusaha. Berusaha berpikir harus melakukan apa biar pasien sembuh, harus belajar agar tidak ada hal penting yang terlupakan...